Hmm, Lolong Anjing di Bulan sesungguhnya sebuah novel sejarah Aceh yang telah bercerita tentang kerusuhan Aceh dengan negara kita, ya Indonesia. Kerusuhan itu berlangsung tahun 1976 dan berakhir 2005, ya sekitar 29 tahun. Di tahun itu Mas, aku belum lahir. Ibuku juga belum ada. Mungkin kamu sedikit tahu tentang insiden itu, tapi izinkanlah aku bercerita ya dari yang aku tahu setelah membaca dan menganalisis novel tersebut.
10.000 orang lebih tewas dalam kerusuhan itu, Mas. Aku tidak bisa membayangkan, mayat-mayat mereka berjatuhan di jalanan ketika terjadi penembakan, penculikan, dan penyiksanaan. Seketika, hati nuraniku berontak.Â
Aku bisa merasakan bagaimana kondisi kejiwaan masyarakat Aceh pada saat itu. Bagaimana anak-anak yang harusnya bisa menikmati masa kecilnya, tentang orang tua yang harusnya tenang saat bekerja, dan orang tua yang damai menghabiskan masa hidupnya.
Aku beruntung Mas bisa bersekolah hingga perguruan tinggi. Banyak ilmu, pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang kudapat. Berbeda dengan anak-anak Aceh pada masa itu. kalau Tuhan mengizinkan aku bertemu dengan mereka (kemungkinan sudah berusia tua), tentu yang ada diingatannya hanyalah kekerasan dan ancaman. Mas, aku bisa merasakan bagaimana psikologinya. Ingatannya penuh dengan kenangan pahit dan memilukan.
Jujur, seakan ketika membaca, aku terlibat langsung pada cerita. Aku duduk sebagai pengamat yang tidak bisa dilihat dan dikenali para pemberontak dan tentara pemerintah. Aku bisa berada di mana saja yang kumau. Aku bisa memaki-maki pemerintah tanpa membuat mereka marah.
Kalau aku hidup dan ditinggal di masa itu, mungkin kenangan hidupku sama seperti tokoh Nazir, keluarganya, dan masyarakat Aceh. Untuk aku, wanita, di masa itu hanya ada dua kemungkinan nasib. Yaitu kalau tidak dinodai tentara ya mati. Kalau disuruh memilih, lebih baik aku mati daripada menyerahkan kehormatanku kepadanya. Tentu, itu akan menjadi sebuah penyesalan karena kamu belum memilikinya.
Aceh itu daerah yang kaya raya, Mas. Tapi ironisnya rakyat miskin dan melarat. Mereka itu punya kebun dan ladang yang luas. Di sana ada tumbuhan palawija, buah-buahan, pepohonan di tanam.Â
Namun, mereka tidak bisa menikmati hasilnya. Mereka menanam, tapi pemerintahlah yang memakan. Sungguh, di mana letak kemanusiaan orang-orang itu. Saking pintarnya ya Mas, mereka terlihat bodoh. Mereka itu lebih najis dibanding anjing sekalipun.
Benar, gaya penceritaan yang detail, kronologis, sistematis, naratif, dan deskriptif mampu membawaku pada suasana cerita. Aku bisa begitu marah dan mengumpat seketika. Aku rasa kamu juga demikian, kalau mau membaca buku ini. Kamu akan menemukan kehidupan yang paradoks dan ironi.
Kalau aku punya daya seperti tokoh Nazir, pasti jiwa kemanusiaanku akan berontak. Bodo amat, aku tidak peduli, tentara akan menembakku, lalu menyiksaku, dan membunuh, mengambil jantungku seperti tokoh Muha. Atau seperti tokoh Yasin, yang tubuhnya diikat di belakang truk. Lalu diseret hingga dua kilometer.Â
Hmm, kamu tahu Mas, apa yang terjadi pada Yasin. Tengkorak kepalanya terlihat, tidak ada daging di sana. Tubuhnya luka, tulang-tulangnya menonjol keluar. Ahh, sadis sekali.