Kabar ini sudah hampir dua tahun lalu. Yakni laporan Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amir, Senin, 3 Juli 2017 tentang kekurangan guru pendidikan agama Islam di sekolah sejumlah 21 ribu pendidik. Topik permasalahan yang menyita perhatian publik tersebut, Kementerian Agama (kemenag) telah mengirimkan surat keputusan kepada Kemendagri, Kemendikbud, Gubernur dan Bupati di seluruh Indonesia, serta Kemenpan dan lembaga terkait supaya melakukan pengangkatan guru pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah.
Dalam pengamatannya, guru agama Islam selama ini bukanlah guru yang benar-benar ahli dalam bidangnya, sehingga hal inilah yang menjadi problem mendasar munculnya pemahaman radikal dan intoleran. Guru sebagai perantara generasi menuju masa depan gemilang memang harus paham, tahu, dan mengerti pada konsep pendidikan yang hakiki, khususnya tentang agama ke-Islam-an. Bila saja kompetensi yang dimiliki guru-guru kita sudah terpenuhi, maka akan terbentuklah suatu pembelajaran dengan tujuan yang ingin dicapai. Sayangnya, permasalahan yang ada guru agama Islam dirasa kurang karena bukan diampu oleh ahlinya. Semestinya di awal kita sadar bilamana sesuatu yang dipimpin sebagai petunjuk bukan pada orang yang tepat, besar kemungkinan akan melahirkan produk atau hasil yang tidak memuaskan. Hal semacam ini tentunya bukanlah harapan kita.
Menyoal pendidikan merupakan pemasalahan yang cukup besar. Pasalnya, ketika seseorang memiliki pemahaman yang berbeda akan kecenderungan bersifat fatal bagi pengetahuan dan wawasan ke depannya. Ibaratnya perancang pakaian, jika yang mendesain bukan ahli desainer, bisa jadi pakaian yang dirancang tidak akan menghasilkan suatu produk, bahkan pakaian yang dikehendaki akan rusak fatal. Sebagaimana dalam sebuah hadist Rasulullah saw mengatakan, "Apabila sesuatu pekerjaan tidak diberikan kepada ahlinya, lihatlah kehancuran."
Dari permasalahan tersebut, akhirnya muncullah pengangkatan guru agama  yang memiliki latar belakang pendidikan agama, meskipun bukan berstatus pegawai negeri (PNS). Karenanya, guru agama yang diharapkan bukan sekadar mengajarkan anak-anak bisa berbuat baik kepada antarsesama umat, tetapi lebih kepada bagaimana cara bergaul dengan orang yang memiliki keyakinan agama berbeda.
Rupert C. Lodge menyatakan bahwa "Life is education, and education is life". Pendidikan adalah kehidupan dan kehidupan adalah pendidikan (Jalaluddin, 2011: 4). Dan, Education is about learning, not teaching. Pendidikan adalah tentang pembelajaran, bukan pengajaran. Jika pendidikan adalah pembelajaran, maka itu adalah proses yang berkembang Artinya, proses pendidikan akan terus berkembang seiring berkembangnya kehidupan manusia. Mulai dari cara atau metode pembelajaran hingga pada media pembelajaran. Guru tidak boleh asal menggunakan media, setidaknya sebelum menyampaikan materi yang akan diajarkan, guru harus paham media apa yang dapat membantu proses pembelajaran, sehingga akan terwujud pembelajaran yang kondusif.
Hakikatnya, seorang pendidik adalah ing ngarso sung tulodho (jika di depan memberi contoh); ing madya mangun karso (jika di tengah membangkitkan hasrat untuk belajar); dan tut wuri handayani (jika di belakang memberi dorongan berupa motivasi). Ketiga kalimat tersebut memiliki pengertian, bahwa seorang guru sebagai pendidik di sekolah formal hendaknya memberi contoh, memberikan pengaruh, dan mengendalikan peserta didik dengan baik. Pasalnya, semua orang yakin bahwa guru sebagai pendidik memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah.
Namun permasalahannya, bagaimana jika pendidikan kita salah pendidik? Tentu saja, akan muncul kontrofersi-kontrofersi baru, misal pada pendidikan agama Islam, akan terjadi pemahaman keagamaan intoleran, potensi radikalisme, potensi missleading yang sangat besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H