Enam tahun menjadi TKW, Eni pulang ke tanah kelahiran dengan membawa budaya dan motivasi baru. Tidak saja harta yang tumpah ruah, tetapi pengalaman hidup yang luar biasa ia tularkan. Di tengah sibuk sebagai penyandang ibu rumah tangga ia menyempatkan diri membuka jam les secara gratis bagi anak-anak desa. Di samping itu, juga mengasah bakat menulisnya dan bergaul dengan komunitas yang lebih luas melalui internet.
Suasana malam Minggu bulan Desember 2016 itu, mengingatkan saya tentang keyakinan sebuah kesuksesaan. Racikan kesuksesaan diberikan Eni kepada saya dan beberapa kawan menulis saya. Dalam tuturnya, sukses itu berawal dari sebuah mimpi (dream). Semua hambatan pasti dapat ditaklukkan asal seseorang percaya akan potensi yang dimiliki untuk mewujudkan dream tersebut. Seperti ungkapan Booker T. Washington, bahwa sukses itu tidak diukur oleh posisi yang telah diraih seseorang dalam kehidupan, tapi hambatan yang telah ia atasi saat berusaha untuk sukses. Hal itu menjadi titik terang bagi saya, bilamana ketika hambatan itu berhasil kita taklukkan berarti kesuksesaan yang kita impikan itu ada di depan mata.
Sukses menjadi seorang motivator dan penulis buku merupakan salah satu dari beberapa rentetan impian Eni waktu itu. Impian menjadi seorang penulis, sempat menjadi pembully-an saat ia kecil. Biasa, sebelum ia berangkat ke sebuah surau untuk mengaji ia sering melakukan aktifitas memotong-motong tulisan yang ada di buku, koran, majalah, dan kartu motivasi yang berserakan di dekat rumahnya. Karena itulah, ia sempat dijuluki sampah bacaan. Menariknya, julukan itu tidak membuat Eni sakit hati, justru membangkitkan kepada teman-teman yang mengoloknya bila ia akan berhasil lewat sampah-sampah bacaan yang terkumpul itu.
Secara terpisah, ketika Eni diundang menjadi pemateri di Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo, Minggu (16/12/16) ia dengan tenang mengeksploitasi pengalaman hidupnya hingga ia berani berbicara di depan umum. Pengakuannya, dulu ia bisa dibilang gagap bicara dan minder. Sebab, semasa kecil Eni sempat terkena penyakit kulit sehingga beberapa temannya menjauhinya dan mengolok-olok. Berangkat dari itulah, Eni memiliki dendam positif bahwa ia kelak akan membalikkan dunia. Bila saat itu menjadi bahan cibiran sebagai orang buruk, kelak akan menjadi orang yang dipandang. Ya paling tidak diakui, hehehe katanya mencairkan suasana.
Beberapa aktualisasi diri yang dilakukan Eni hingga ia kini diakui orang itulah yang membuat ia bangun. Baiknya, meski saat ini bisa dibilang orang tersohor tidak membuat wanita yang sering diminta mengisi sebagai publik speaker itu sombong. Justru ia begitu senang bisa berbagai suka-duka hidup kepada semua kalangan. Sebab, keyakinannya seseorang pasti pernah mengalami nasib seburuk-buruk nasib maupun sebaik-baiknya nasib. Oleh karena itu, motivasi kegagalan dan kesuksesan itu memang laris bila ditularkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H