Perempuan berambut sebahu mulai beruban. Ia menyusuri pagi dengan tangan kiri telanjang. Tangan kanannya ada sapu lidi yang panjangnya kira-kira 50 sentimeter. Memetik daun yang kuning dan kekuningan.
Ada bunga paling segar menyambut surya---putih segar, ditambah kelopak hijau yang segar pula. Bunga itu seusia rumah perempuan itu. Kedua anaknya setiap pagi memetik bunga suci itu. Katanya, bunga cantik secantik guru bahasa Indonesia.
"Ini untuk Bu Ambar," ucap anak merah-putih sembari menciumi bebunga bermekaran.
Sorot elang perempuan itu tak seperti elang. Lembut, sesuci bunga. Tras, pandang. Tepat pada titik pusat. Ia memanah. Seorang lelaki dengan sarung biru batu di halaman. Membawa seember tanah dari samping rumah. Ditaruhnya ember itu di dekat pot kosong. Lelaki itu, kembali ke belakang rumah. Sebentar kemudian datang dengan membawa beberapa tangkai tumbuhan, sekitar 30 sentimeter.
Menggaruk yang tak gatal menjadi kebiasaan perempuan rumah tangga itu. mendekat suaminya mengorek-orek tanah dengan air di sebuah bak kecil. Tak berkata. Hanya melihat. Sekali melempar senyumnya, lelakinya membalas kecup senyum.
"Tanaman apa, Pak?" tanya perempuan itu.
"Tidak tahu, Bu. Kata Pak Darso bisa mengobati segala penyakit," balasnya.
Mengangguk-menggeleng.
"Obat apa itu. Penyakit apa pula. Obat sakit ya pikiran. Jernih pikiran, sehat di badan," kata perempuan itu sembari menelanjangi tanaman kerdil itu.
***
Menjemput surya dan mengantarkan surya, lelaki itu merawat baik tanaman suci. Membawa ember dengan riang, dibaginya rata air pada setiap pot. Sesekali, lelaki itu membelai para daun. Memetik daun yang kuning dan menguning.