Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau Mencintai Aku, Kan?

28 Desember 2018   23:03 Diperbarui: 28 Desember 2018   23:14 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(pendoasion.wordpress.com)

Kalau saja engkau tahu, sedari sepucuk surat kau selipkan di jendela kamar ini, aku mulai tertarik padamu. Kau sederhana, sangat sederhana. Kau  pun biasa, sangat biasa. kau banyak kekurangan, ya banyak kekurangan darimu. Namun kau tahu, apa yang membuat aku tertarik padamu? Syairmu.

Sembari berkedip menunggu harap meteor, bukan bintang jatuh, sengaja aku gantungkan mata di dekat pinggir jendela. Aku ingin tahu, rapalan apa yang kau bacakan sebelum menyelipkan sepucuk suratmu.

Derik langkahmu mulai terasa. Aku mulai menikmatimu sembari tidur di balik selimut. Aku tahu, kau pasti mengintipku kan? Sengaja gorden jendela tak kututup seperti malam-malam sebelumnya. Supaya kamu bisa melihat  bahasaku tidur. Selepas kau pergi dan meninggalkan sepucuk surat paling indah itu, aku menarik selimut.

Maaf, aku mengintipmu dari kejauhan. Terlihat, aku mencium kejujuran dari setiap kekata yang kau tulis. Bahkan, tak sekalipun bisa aku bayangkan kau mampu merangkai kata yang begitu indah di lidah dan hati. Kau menuliskan dengan perasaan, dan kau ungkapkan dengan perasaan pula.

Sedari itu, aku sering menunggu syairmu. Ya, tepatnya menunggumu pula.

Tersadar, berawal dari syair tulismu, aku mencintaimu. Mencintai bahasa tulismu. Mencintai bahasa hatimu. Dan, mencintai gaya bahasamu mencintaiku.

Kau mencintai aku kan?

Di suatu malam nanti, tak lagi aku mengintip kaki telanjanganmu penuh keberanian menyelipkan surat ini. Segera, kutemui. Akan kujelaskan padamu, bagaimana aku menelan, mengunyah, kemudian menyimpan kata-katamu, sehingga jadilah sisa-sisa syairmu paling indah dalam rekam memori. Kau tahu, tak ada kekatamu yang tertinggal se-huruf pun. Semua aku makan, dan telan, lalu kukunyah, dan kusimpan dalam memori.

Entah, di suatu malam mana, kujanjikan ini padanya---para bintang yang selalu mengantarkanmu menemui bahasa malamku. Juga bulan dan kegelapan yang menemani desir langkahmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun