Malam membunuh waktu. Para jangkrik kembali ke persembunyiannya, kodok-kodok pun kembali ke lorongnya. Mereka usai melakukan petualangan. Menjelajahi sunyinya malam menyisir angin menyayat jalan.
Sementara itu lakon manusia masih mengitung waktu. Ia menjemput malaikat. Di rumah yang penuh buku. Tembok buku, tumpukan-tumpukan buku menghitung waktu.
Dari luar, nampaklah rombongan lakon manusia dari Lamongan. Dia husnaini, penulis buku islami bersama ketiga anak kulturalnya. Suasana hangat menyeruak rumah buku. Mereka saling bersalaman, menjabat tangan. Luruh sudah rasa letih karena perjalanan.
"Manjur, karena buku-buku ini lelah pun mendadak sirna," kata Husnaini kagum.
Ia tak nyana, energi buku mengubah energi semangatnya membuncah. Ia sadar, baru kali ini melihat ada rumah penuh dengan buku, di rak, lantai, dinding-dindingnya buku. Ditambah, ada beberapa foto karya lakon manusia penggiat literasi dari Ponorogo itu.
Tak beberapa lama, datanglah malaikat yang pandai bersyair. Ia ulung merangkai kata. Katanya, bahasa yang terlontar mampu mengetuk hati. Bila diucapkan mampu membuat kita berani. Mahroso Doloh itulah namanya. Ia seorang penyair asal Patani Thailand.
Kedua malaikat itu, keesokan harinya, tepatnya di suatu pagi menjadi pemateri di sebuah kampus Ponorogo. STKIP PGRI Ponorogo. Ya, pagi itu mereka akan banyak berbicara tentang literasi, pengalaman kepenulisan, hingga proses kreatifnya.
Menulis menurut Husnaini, seperti buang air besar, tidak dapat ditanah. Klau dihati ingin menulis maka segera menulis. Tidak bisa bila ditubda. Bisa pun, tulisan (ide) akan lenyap dengan sendirinya---tersapu angin.
Lelaki berpeci itu, membuka niatan menulis tahun 2006. Sepanjang tahun 2013-2016 ia telah menelurkan 10 buku beraroma motivasi islami.
Sementara itu, menulis bagi Doloh sebuah sarana untuk menciptakan sejarah.
"Jangan hanya membaca sejarah, tetapi jadilah orang yang dicatat sejarah," katanya menggebu-gebu.