Mohon tunggu...
Mbak Rini
Mbak Rini Mohon Tunggu... -

yuhuu...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Titian Rindu 4: Tangis Kelam Biru

31 Mei 2010   16:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:50 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tiga tahun setelah bapaknya menghilang, ibunya memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Di kotanya tidak ada sekolah khusus untuk kakaknya. Sebenarnya gadis kecil itu lebih suka tinggal di kampung karena banyak saudara dan teman-teman yang ia sayangi. Namun ibunya bersikeras. Ibunya yang sangat sayang kepada kakaknya, ingin kakaknya sekolah di Sekolah Luar Biasa. Ia tahu bahwa apapun akan dilakukan ibunya untuk kakaknya, walaupun jika itu berarti harus meninggalkan kampung halaman dan rumah mereka yang nyaman.

Di Jakarta mereka tinggal di rumah yang kecil, karena ibunya sudah tidak punya banyak uang. Uang simpanan selama ini dipakai ibunya untuk berkeliling mencari bapaknya. Tak terhitung berapa kali ia harus bolos sekolah bergantian dengan adik dan kakaknya untuk menemani ibunya mencari bapaknya. Usaha rias pengantin sudah ditinggalkan ibunya karena waktunya habis untuk pergi kesana kemari.

Menurut perempuan wangi di kantor bapaknya, bapaknya sudah tidak lagi bekerja di situ.

Tak pernah lelah ibunya mencari. Semua sudah didatangi ibunya. Ke rumah saudara-saudara bapaknya, teman-teman bapaknya, ke organisasi tempat bapaknya berkiprah. Bahkan ibunya sering mondar-mandir ke kantor polisi, melaporkan kehilangan suami. Tidak ada petunjuk satu pun. Semua upaya sudah dilakukan ibunya, bahkan ke orang pintar pun pernah dilakukannya. Namun semua upaya itu nihil.

Bapaknya tak pernah pulang.

- - -

Keluarga ibunya sudah mengingatkan agar mengikhlaskan kepergian bapaknya. Pernah gadis kecil itu mendengar Budhe-nya berkata , “Paling-paling bojomu wis kawin meneh..wis ora usah diluru-luru”.

Keputusan ibunya untuk pergi ke Jakarta pun ditentang keluarganya. Ibunya tak hirau. Ia seakan tahu apa yang terbaik untuk keluarganya, walau berat beban yang akan ditanggungnya. Mengajak tiga buah hatinya menempuh perjalanan mendaki yang terjal di belantara ibukota. Demi cita-cita agar anaknya mendapat pendidikan dan satu keyakinan yang tak pernah pudar.

Ia yakin akan menemukan suaminya.

- - -

Sejak kecil, gadis kecil itu dan adiknya sangat dekat. Tidak demikian dengan kakaknya. Kakaknya seakan hidup di dunia sendiri. Kakaknya sering bertingkah luar biasa menyebalkan. Tak jarang membuat ia dan adiknya menangis. Kadangkala gadis kecil itu sering protes jika ibunya tak menggubris tingkah kakaknya. Ia tak habis mengerti mengapa ibunya demikian membela dan menyayangi kakaknya yang usianya lebih tua.

“wis tho nduk ngalah.. masmu kuwi sa’ake, ora iso ngomong, ora krungu opo-opo..”, kata ibunya setiap kali gadis kecil itu protes atas tingkah kakaknya.

tapi kan aku serik, bu..”,lanjutnya.

Biasanya ibunya akan mengelus lembut punggungnya dan berkata, “ojo serik yo nduk.. seri’o karo bu’e sing ngelahirke masmu koyo ngono”.

Namun ia tak pernah bisa membenci ibunya. Elusan lembut tangan ibunya selalu bisa meredam amarah di dadanya.

- - -

Rumah kontrakan itu terletak di satu gang sempit, dekat sekolah kakaknya. Ibunya sengaja mencari rumah yang dekat dengan sekolah kakaknya. Ada lima rumah berdempetan. Pemiliknya seorang ibu tua yang suaranya nyaring dan bicaranya sangat cepat. Riuh senantiasa terdengar di gang kecil itu. Ramai orang berjualan dan berlalu lalang.

Gadis kecil itu sering merasa tidak betah. Ia sering teringat kampungnya yang damai. Teringat teman-teman masa kecilnya. Teringat pohon asem yang teduh tempat ia biasa bermain dan bersenda gurau. Jika rasa penuh di dalam dadanya mengumpul, ia ajak adiknya untuk pergi ke lapangan bola. Di sisi lapangan, rumput-rumput yang tinggi seakan menenggelamkan mereka. Awan-awan yang berarak seakan melambungkan angan mereka. Layang-layang yang saling berkejaran sejenak bisa meluruhkan rasa penuh di dada gadis kecil itu.

Tapi yang membuat gadis kecil itu merasa bebas hanya satu. Tawa lepas adiknya.

- - -

“Rindu.. Rindu.. dicari ibumu”.

Sebuah suara memanggil namanya. Bergegas ia dan adiknya pulang. Tersentak ia melihat barang-barang di rumahnya dilempar oleh Ibu Tua bersuara nyaring pemilik rumah kontrakan itu. Sambil berkacak pinggang dan memaki-maki dengan kasar, ibu itu mengusir mereka. Ia lihat ibunya meminta maaf dan berjanji akan segera membayar uang kontrakan. Namun Ibu tua itu tetap mengusir mereka.

Gadis kecil itu memunguti tas sekolahnya dan adiknya yang dilempar keluar rumah. Buku-bukunya berceceran. Ia lihat kakaknya hendak melempar ibu tua itu dengan sandal, tetapi ibunya menghalangi. Ia pegang erat tangan adiknya. Tangan itu dingin. Rasa dingin itu semakin menambah gemetar didadanya. Ia tergugu melihat ibunya menangis sambil meraih ia dan adiknya. Hanya kakaknya yang masih berteriak-teriak tidak jelas.

Para tetangga telah berhasil meredakan amarah ibu tua itu. Namun rasa dingin di dada gadis kecil itu belum juga hilang kendati ibu tua itu telah pergi. Suara nyaring ibu tua itu masih terngiang di telinganya. Linangan air mata ibunya masih membasahi rambutnya.

Air mata yang jatuh membasahi rambutnya seakan merasuk ubun-ubunnya. Memantapkan niat dalam hatinya. Tak akan dibiarkannya ibunya menangis lagi.

Tak ingin lagi ia melihat kelam biru di sudut mata ibunya.

- - -

the past is never dead, it’s not even past.

...to be continued...

catatan :

-Paling-paling bojomu wis kawin meneh..wis ora usah diluru-luru :

paling-paling suamimu sudah menikah lagi, sudah tidak usah dicari-cari

-wis tho nduk ngalah.. masmu kuwi sa’ake, ora iso ngomong, ora krungu opo-opo :

sudahlah nak, mengalah..kakakmu itu kasihan, tidak bisa bicara, tidak mendengar apa-apa

-tapi kan aku serik, bu :tapi kan aku benci, bu

-ojo serik yo nduk.. seri’o karo bu’e sing ngelahirke masmu koyo ngono:

jangan benci ya nak, bencilah ibu yang melahirkan kakakmu seperti itu

[rawamangun, 31052010]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun