Perlu ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perhatian yang lebih, terutama dengan mengaitkan status hukum serta hak masing-masing. Warga minoritas merupakan bagian dari rakyat kecil yang seringkali terabaikan. Hanya masyarakat yang dianggap kompeten sering kali diberi hak untuk bersuara, tanpa memperhatikan suara rakyat jelata.
Penting bagi golongan elite untuk menyadari bahwa setiap individu berhak memilih dengan perspektifnya sendiri. Selain itu, warga elite juga harus menghargai peran dan argumen setiap individu tanpa pandang bulu. Tanpa kesadaran ini, sulit untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi rakyat kecil, terutama di berbagai desa pelosok.
Contoh kecil dari ketidakadilan ini adalah kasus seorang anak yang ingin meraih pendidikan namun orang tuanya kurang mampu secara finansial. Padahal, anggaran untuk biaya pendidikan di desa tersebut sudah dicantumkan sebesar 20% dari anggaran negara. Sayangnya, tidak ada partisipasi dan tindakan dari kepala desa. Fenomena seperti ini justru diabaikan begitu saja tanpa memperhatikan rakyatnya. Dan kasus semacam ini sudah marak terjadi di berbagai tempat hingga ke pelosok desa.
Bagi yang mampu bersekolah, ada bantuan berupa Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang memberikan uang bulanan dan bantuan lainnya. Namun, distribusi KIP tidak selalu adil dan tepat sasaran. Banyak daerah di Indonesia yang memperlakukan warganya secara tidak adil. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara agar suara rakyat jelata dapat tersampaikan hingga ke para pemimpin?
Ini memang pasti sangat sulit, tapi sebagian mungkin sudah pernah mendengar keluh kesah rakyat kecil, namun tidak ada tindakan lanjut. Solusi yang bisa diambil adalah kerja keras dari rakyat sendiri dan protes baik melalui media online maupun secara langsung.
Selain itu, ada pula kasus pengucilan terhadap komunitas adat Samin pada tahun 2020. Komunitas ini terletak di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Mereka mengalami pengucilan sosial karena praktik kepercayaan yang berbeda. Mayoritas anak-anak Samin seringkali mengalami bullying di sekolah karena kepribadian mereka yang polos dan sikap apa adanya. Sikap terbuka mereka sering dipandang nyeleneh dan membuat mereka terlihat berbeda.
Kaum Samin juga tidak mendapat perlakuan yang adil dari pihak sekolah. Meskipun ada upaya dari aktivis hak asasi manusia untuk membantu komunitas ini, banyak dari mereka yang masih kesulitan mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Selain kasus Samin, ada juga fenomena segregasi berdasarkan agama. Misalnya, di Dusun Karet, Plaret, Bantul, Yogyakarta, antarwarga sepakat menolak warga non-Muslim tinggal di desa mereka. Kepala dukuh Karet mengatakan bahwa aturan ini sudah ada sejak tahun 2015. Perbedaan agama sering kali menjadi alasan pengucilan sosial, yang mengakibatkan masyarakat terpecah belah.
Untuk mengatasi masalah-masalah ini, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat sipil. Kesadaran akan pentingnya inklusivitas dan penghormatan terhadap perbedaan harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan yang inklusif dan kampanye kesadaran sosial bisa menjadi langkah awal untuk mengurangi pengucilan sosial.
Selain itu, penting untuk memperkuat regulasi dan kebijakan yang melindungi hak-hak minoritas. Pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kebijakan ini juga harus dilakukan untuk memastikan bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, mendapatkan hak yang sama.
Di era digital ini, media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk menyuarakan ketidakadilan. Rakyat dapat menggunakan platform ini untuk berbagi cerita dan mencari dukungan. Namun, peran media sosial juga harus diimbangi dengan tindakan nyata dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah pengucilan sosial.