Sebenarnya saya tidak tertarik menulis tentang polemik Kurikulum 2013 yang sedang ramai diperdebatkan. Bahkan hampir di semua media berlomba-lomba membahas dan mengulasnya. Dari media cetak, elektronik, media sosial sampai ke dunia maya. Pada akhirnya malah makin membingungkan pelaku pendidikan, tidak terkecuali orang tua murid itu sendiri. Belum buku paket yang menjadi panduan untuk belajar, tidak bisa langsung tersedia ketika kurikulum sudah mulai diberlakukan. Disini saya hanya ingin sedikit mengeluarkan uneg-uneg seorang ibu yang turut di buat bingung dan galau dengan kondisi ini.
Ketika Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Anis Baswedan menginstruksikan untuk menghentikan Kurikulum 2013, dunia pendidikan Indonesia mendadak heboh. Muncul pro kontra yang dahsyat, bahkan sampai mantan Mendikbud M. Nuh turut menanggapi keputusan tersebut.
“Jangan anggap K-13 ajaran sesat.” demikian ungkapan kekecewaan yang dilontarkan M.Nuh menjadi judul artikel pada sebuah surat kabar Jawa Timur, menanggapi sikap Anies Baswedan yang secara tiba-tiba mengganti kurikulum yang diluncurkannya ketika menjabat sebagai Mendikbud.
Terlepas dari sesat atau tidak sesat, apa bapak mantan Mendikbud lupa kalau di Indonesia selalu berlaku “ganti menteri ganti kurikulum”. Itu sudah berjalan dari dulu hingga sekarang dan selalu terbukti. Kami sebagai orang tua sudah hapal dan selalu mempersiapkan diri dengan kondisi seperti itu. Walaupun ketika hal itu terjadi, beban psikologis itu tidak hanya berdampak pada orang tua. Pihak sekolah dan tentunya anak itu sendiri turut bingung. Apalagi dengan kejadian sekarang yang betul-betul ekstrim (menurut saya) menimpa dunia pendidikan Indonesia.
***
Ketika Kurikulum 2013 diberlakukan di sekolah tempat Adham menuntut ilmu, jarang sekali ada pe er teori yang dikerjakan di rumah. Hampir tidak pernah. Tapi hampir tiap hari dia di beri tugas untuk mencari informasi lewat internet. Contohnya :
1.Mencari gambar peta Jawa Timur di internet, di cetak lalu di laminating.
2.Mencari informasi tentang struktur mata kita, sekalian gambarnya, di cetak lalu di laminating.
3.Mencari informasi tentang baju daerah di Indonesia, sekalian gambarnya, di cetak lalu di laminanting.
4.Mencari huruf-huruf jawa di cetak dan di laminanting.
5.Mencari gambar-gambar cara melaksanakan sholat fardhu, di cetak dan dilaminating.
Dan masih banyak lagi tugas semacam itu kalau saya tulis semua, bisa panjang banget. Mungkin sudah ada lebih dari 50 kali mencari data di internet, di cetak, di laminating lalu dikumpulkan di sekolah. Suatu saat saya main ke kelas Adham dan bicara dengan wali kelasnya. Nampak hasil pekerjaan murid-murid itu hanya di tempel di dinding sekolah sebagai pajangan. Ketika saya tanyakan kepada beliau, jawabannya cukup mengejutkan.
“Supaya kelihatan kalau guru kerja dan melaksanakan instruksi pusat dalam melaksanakan kurikulum 2013”
Jawaban yang cukup mengejutkan. Tapi juga tidak terlalu mengherankan ketika saya menanyakan pada satu guru yang lain tentang bagaimana pelaksanaan kurikulum baru yang ternyata di setiap masing-masing sekolah juga beda penerapannya. Di samping sosialisasi yang belum merata. Sampai detik inipun saya sebagai wali murid dari kelas 4 SD tidak pernah di panggil ke sekolah untuk di beri penjelasan tentang tekhnis pelaksanaan Kurikulum 2013 yang konsepnya melibatkan peran aktif orang tua juga.
***
Saya sendiri sebenarnya sangat setuju dengan pernyataan bapak Menteri yang menyatakan bahwa keputusannya untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 dan kembali pada Kurikulum 2006 merupakan langkah tepat bagi pendidikan nasional. Karena penerapan Kurikulum 2013 tidak diimbangi dengan kesiapan pelaksanaan. Sedang substansi pelaksanaan kurikulum tersebut tidak jelas dan tidak terdokumentasi dengan baik. Dan memang begitulah yang terjadi di lapangan.
Tapi informasi terakhir yang saya baca di Jawa Pos, Senin 8 Desember kemarin, dengan judul headline “Menyikapi Keputusan Kurikulum 2013, Tetap Lanjutkan Meski Bikin Bingung”. Di seluruh Surabaya masih memberlakukan Kurikulum 2013 dan salah satu alasannya adalah karena sudah berjalan lebih dari 3 semester. Apa jadinya dunia pendidikan kita ini jika ada dua kurikulum yang berjalan bersama?
Akhirnya saya berusaha menghibur diri sendiri dengan berpikir lebih positif. Bahwa, mau di bolak balik dari Kurikulum 2013 terus kembali ke Kurikulum 2006, sebenarnya semua kembali ke kemampuan diri masing-masing anak kita. Karena segala bentuk kurikulum itu hanya sebuah pola dalam mencapai satu tujuan dalam menuntut ilmu. Guru di sekolah hanya membimbing dalam mencapai tujuan tersebut. Pondasi yang paling berpengaruh adalah dari rumah. Tentunya yang lebih berperan adalah kita sebagai orang tua. Hanya kita yang tahu seberapa kemampuan dan kondisi sesungguhnya anak kita. Dasar yang utama dan terpenting adalah menanamkan kurikulum “kehidupan” yaitu memberi kenyamanan dan ketenangan anak dalam melalui proses kehidupan ini.
Tulisan ini hanya sekedar menceritakan pengalaman pribadi (tepatnya uneg-uneg saya), selama mendampingi anak dalam proses belajar dengan menggunakan kurikulum 2013. Mungkin pengalaman orang tua yang lain berbeda. Saya juga tidak terlalu berharap artikel saya ini di baca oleh pak Anies (yang ngakunya mewakili orang tua senasib hehehehe), tapi bisa dijadikan bahan pertimbangan sehingga tidak akan ada 2 kurikulum yang dijalankan secara bersamaan. Tapi kalaupun kondisi itu harus terjadi, saya tidak akan sepenuhnya menerapkan kurikulum 2013 pada anak saya. Karena ada yang lebih bermanfaat menurut saya untuk memberi pendidikan dasar pada anak daripada bingung dengan segala macam kurikulum yang selalu berganti-ganti, yaitu KURIKULUM KEHIDUPAN.
Salam hangat untuk pak Anies Baswedan....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H