Dari yang awalnya lelucon, tapi cukup membahayakan. Seperti menyeberang jalan atau menyetir mobil dengan mata tertutup. Akibatnya sejumlah pembuat konten ada yang tabrakan. Nah, bisa dibayanginkan? Tentunya tidak hanya resiko tinggi yang menimpa si pelaku. Tapi juga orang di sekelilingnya.
Sekarang, prank menjadi sebuah pro dan kontra tidak berkesudahan. Karena di satu sisi, para YouTuber membutuhkan konten yang diminati subscribernya, yang mendatangkan banyak view.
Seorang psikolog berpendapat, prank tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena bisa menimbulkan rasa cemas dan trauma bagi sang korban. Dan tentunya urusan bisa jadi panjang. Pikiran yang kalut dan cemas bisa membuat fisik jadi drop.
Sedihnya, banyak juga yang menutup mata dan telinga seolah tidak peduli kritik dan komen terutama para pelaku pembuat konten yaitu YouTuber itu sendiri. Mereka selalu memberi jawaban klise, "Ini channel gue, kalau nggak suka ya unfollow aja".
Padahal masalahnya tidak sesederhana itu. Sebagai YouTuber yang mempunyai follower atau subscriber (baik yang jumlahnya bijian sampai jutaan) seharusnya mempunyai tanggung jawab moril dan memberi edukasi kepada para pengikutnya itu. Apalagi kalau sebagian besar penggemarnya adalah anak-anak atau ABG yang mudah sekali meniru. Sedangkan mereka tidak tahu tingkat keselamatan kalau dengan bulat-bulat menirunya. Mereka tidak paham kalau semua itu ada trik dan settingan.
Kalau sudah begitu, peran oran tua memang sangat dibutuhkan. Jangan hanya anak-anak saja yang disebut milenial. Orang tua pun harus memposisikan diri sebagai orangtua milenial. Lalu bagaimana caranya?
1. Jangan gaptek atau gagap teknologi.
2. Selalu mengikuti teknologi yang semakin hari semakin berkembang.Â
3. Pantau media sosial, di mana semua informasi sangat mudah diakses.
4. Libatkan diri ketika anak sudah mau mencoba bikin konten.
Cukup sekian curhat saya sore ini. Yang sangat spontan ketika melihat tayangan info tentang prank di televisi. Salam internet sehat dari emak (yang mengaku) milenial!