Kakinya melangkah pasti menuju tempat ibunya beristirahat dengan tenang. Meski sudah lama tidak mengunjungi makamnya tapi Tira masih ingat banget tempat ibunya disemayamkan.
Tapi langkahnya sempat terhenti. Sedikit ragu untuk mendekat. Tapi dia yakin, inilah kuburan ibunya. Tampak rapi dan bersih. Kemudian dia membaca nama yang terpahat di batu nisan, tidak diragukan lagi.
"Seorang laki-laki yang mengaku suami dari bu Sumiati, rutin tiap bulan datang dan membersihkan makamnya." hanya itu pengakuan yang meluncur dari mulut penjaga makam.
Tira cukup kaget mendengarnya. Untuk apa dia kembali muncul? Buat apa dia mengusik ketenangan hidup kami selama ini, meski ibu sudah tenang di alamnya.
Tira mengurungkan niat untuk mampir ke rumah paklik, adik ibunya. Karena Tira sudah tidak mempunyai tempat kenangan masa kecil. Semua sudah habis dijual oleh ayahnya. Padahal tadi dia ingin melihat rumah kenangan itu. Rumah masa kecil dan yang telah mendewasakan dia dengan segala manis pahitnya kehidupan.
Dia tidak ingin bertemu orang yang selama ini menorehkan kepiluan dalam kehidupan ibunya. Orang yang sudah lama tidak menghiraukan keberadaan dia dan ibunya. Orang yang seharusnya pantas disebut dia ayah. Kaki Tira mantap menuju stasiun kereta api, untuk kembali ke ibu kota.
"Maaf ibu, saya tidak mau bertemu orang yang telah membuatmu selalu meneteskan air mata. Aku pulang hanya untuk melepas rindu padamu. Entah kapan lagi aku akan pulang ke kota ini. Karena rinduku padamu sudah cukup terpuaskan lewat mimpi."
Jakarta, menjelang surya yang fitri. Kutitip rindu untuk ibu ;(
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H