Mohon tunggu...
Mbak Avy
Mbak Avy Mohon Tunggu... Penulis - Mom of 3

Kompasianer Surabaya | Alumni Danone Blogger Academy 3 | Jurnalis hariansurabaya.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Kartini RTC] Menggugat Kartini

20 April 2015   00:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_411259" align="aligncenter" width="300" caption="Mbak Avy No. 01"][/caption]

Masih setengah tidak percaya. Akhirnya besok Mayang akan mengenakan baju toga yang selama ini hanya menghiasi mimpi-mimpinya. Impian yang hampir kandas oleh ambisi mengejar karir. Dengan gaji yang cukup lumayan, membuatnya tidak terlalu antusias menyelesaikan kuliah. Sampai akhirnya suatu saat.

“Kamu sebaiknya pulang kampung saja nduk. Toh kamu bisa meneruskan usaha perkebunan ayah, sambil cari jodoh.” Sebenarnya Mayang sudah bisa menerka arah pembicaraan ibunya. Kakaknya juga putus kuliah karena dijodohkan. Entah itu dinamakan takdir atau kodrat. Tapi mereka tidak keberatan. Bahkan cukup menikmati kehidupan yang sudah di atur oleh orang tua mereka. Dan Mayang merasa nasibnya tidak akan berbeda jauh.

Tapi terjadi perubahan drastis ketika sang ibu tercinta harus meninggal dunia. Untuk menghapus kesedihan dan tidak terus menerus ingat almarhumah, Mayang kuliah sambil bekerja. Itu membuat pandangannya terbuka bahwa wanita jaman sekarang ini sudah semakin maju. Sampai pada suatu saat.

“Kuliahmu sudah hampir 6 tahun, terus kapan lulusnya? Kalau masih lama, mendingan kamu nyari suami saja daripada buang-buang duit buat sekolah yang nggak pernah jelas kapan selesainya.”

Ucapan ayahnya bak halilintar. Waktu itu mereka sedang bercengkerama di teras rumah, menikmati teh hangat sambil menunggu senja menjelang. Tapi kabut hitam sudah mendahului menyapa hati Mayang karena ucapan ayahnya tadi.

“Kalau memang belum waktunya selesai masa harus dipaksain yah.” jawab Mayang sengaja berkelit. Selama ini ayahnya tidak pernah tahu kalau dia kuliah sambil bekerja. Sebenarnya ada rasa sesal mengalir, tapi disisi lain dia memang sengaja mengulur waktu kuliahnya supaya tidak diharuskan cepat kembali ke kampung halaman.

“Kalau gitu setelah kamu lulus kuliah nanti, tidak usah bekerja di kota. Kamu bisa membantu ayah. Makanya cepat cari jodoh dan menikah saja.” sambung pak Tedjo.

Kata-kata itulah yang selama ini sangat ditakuti Mayang. “Ucapan orang tua adalah titah. Tidak ada orang tua yang menginginkan anak-anaknya hidup susah”. Begitulah yang sering disampaikan almarhumah ibu kalau mereka berbeda pendapat. Pandangan kuno dan kolot itu dikarenakan mereka mempunyai garis keturunan ningrat yang memang masih berpegang teguh adat istiadat. Meskipun ada keinginan menolak, tapi seolah ada tangan kokoh yang mencengkeram untuk tunduk dan patuh pada aturan yang sudah turun temurun itu.

***

Hari ini memang puncak kebahagiaan bagi Mayang. Terutama sang ayah. Kebahagiaan yang di balut kebanggaan serta harapan yang membuncah. Dia ingin melihat putri bungsunya itu segera menggantikannya mengelola perkebunan. Wajah cantik Mayang selalu dihiasi senyum yang tidak pernah hilang meskipun  dipaksakan. Selanjutnya ada pesta syukuran di kampung halaman yang cukup meriah. Tapi ada satu pesta kejutan yang membuat Mayang hampir pingsan yaitu pesta pertunangannya dengan anak relasi dari ayanya. Tentu saja Mayang protes. Tapi sekali lagi dia harus kecewa ketika ayahnya kembali mengatakan bahwa “ucapan orang tua adalah titah”.

Hatinya di sapu rasa gelisah dan gundah. Tekadnya sudah bulat. Tidak ada keraguan sedikitpun. Dijinjingnya tas kecil yang hanya diisi baju 2 potong. Langkah kakinya sudah mantap meninggalkan rumahnya yang sarat dengan kenangan manis. Ketika semua orang sibuk mempersiapkan pesta yang akan diselenggarkan beberapa jam lagi.

Ayah,

Sebelumnya Mayang minta maaf kalau harus pergi tanpa pamit. Karena terus terang tidak mungkin menuruti keinginan ayah tapi di sisi lain batin saya tertekan. Tidak perlu di cari. Tidak usah disesali.

Maunya Mayang pergi tidak lama, tapi bisa juga tak berbatas waktu. Yang jelas Mayang ingin membuktikan harapan ibu Kartini yang menjunjung tinggi kebebasan dan emansipasi. Suatu saat akan saya buktikan pada ayah. Sekali lagi mohon maaf.

Mayang

Mayang meninggalkan sepucuk surat di antara baju toga dan ijasah yang memang sengaja di tinggalkan. Pak Tedjo hanya bisa meratapi sikapnya selama ini dalam memperlakukan putri-putrinya. Tapi tidak dipungkiri ada terselip rasa kagum dan bangga. Ternyata Mayang sudah menjelma menjadi wanita yang tangguh dan konsisten. Seperti apa  yang selama ini diharapkan  almarhumah istrinya.

***

Sudah hampir sejam bis itu membawa Mayang meninggalkan kampung halaman untuk menuju kota impian yang selama ini menjadi tempatnya belajar dan bekerja. Dia akan kembali menekuni aktifitas yang dilakoninya sebagai wanita karir.

Mayang ingin kembali mencari jati diri yang sesungguhnya. Dan bertekad “menggugat” ibu Kartini, lewat aksi nyata. Dia ingin membuktikan bahwa wanita Indonesia sudah mampu mewujudkan harapan dan cita-citanya itu. Untuk menjadi wanita yang tangguh, cerdas dan bisa disejajarkan dengan kemampuan para pria. Kalaupun ibu Kartini belum bisa mewujudkan secara sempurna, paling tidak beliau sudah membuka jalan. Untuk selanjutnya kartini-kartini generasi muda yang harus mewujudkannya.



***

Selamat hari Kartini, 21 April 2015

14294642751006733505
14294642751006733505


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun