lya... demikian selorohan saudaraku ketika mendengar keputusan sidang istbat (benar tidak ya tulisannya?). Pada tanggal 29 Agustus 2011, sejak pukul 19.30 WIB, kami berkumpul di depan televisi, menanti keputusan pak Menteri kapan lebaran. Saudaraku mudik semua, jadi ramailah rumah kami. Mulai dari menantikan rapat yang lama, dan panjang, kakak iparku nyeletuk,"nah, sepertinya berbeda ini, Rabu baru lebaran, karena sidangnya bertele-tele dan panjang". "Berarti kita puasa dong besok," entah bertanya, entah menegaskan, ujar saudaraku yang lain. "Puasa nak, lagi sebulan kita sanggup berpuasa, apalagi puasa satu hari lagi..."kali ini ibuku yang bicara Bapakku nyeletuk,"Ayo Buk, kita taraweh dulu sekarang." "Wah, enak dong Muhammadiyah, udah lebaran sekarang," celetuk kakak iparku lagi. "Yah, tidak masalah, tergantung keyakinan masing-masing." Suara Bapak terdengar lagi. Tiba-tiba, adik iparku bilang, "Pak, kami besok lebaran." Kami semua melihat ke arahnya sambil tersenyum. Adik iparku itu ikut Ormas Muhammadiyah. "Ya tidak apa-apa nak..." jawab Bapakku. Ya, perbedaan itu tidak menjadi masalah di rumah kami. Asal ada dasarnya, silahkan berlebaran sesuai dengan keyakinan masing-masing. Saya pribadi, ikut pemerintah. Karena berdasar “Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan ulil Amri di antara kalian..” (QS. An Nisa (4): 59). Lain pula reaksi ibu-ibu, dan isi status teman-temanku di fesbuk, yang mengeluhkan dan mengkhawatirkan opor dan gulai rendang basi. Sampai sebegitunya karena Lebaran mundur satu hari. Sebenarnya tidak perlu sekhawatir itu, solusinya, harus lebih rajin memanaskan saja. Tiba-tiba Bapakku berujar, "kita lihat malam tanggal 31 Agustus nanti, kalau ada bulan berarti sudah tanggal 2 Syawal." Kami semua berekspresi bertanya. "Kenapa demikian Pak?" tanyaku. "Ya, kalau ilmu orang lama bilang, ilmu "tumbuh" (ilmu kampung, yang berdasarkan kebiasaan turun temurun), kalau malam 1 penanggalan bulan, bulan belum terlihat, tapi kalau bulan sudah terlihat terang, berarti itu sudah tanggal 2." "Jadi, kita malam Rabu, melihat bulan, kalau bulan sudah tampak, berarti Muhammadiyah benar yah?" tanya ibuku. "Ya, demikian." Bapakku mengangguk. Demikianlah, yang terjadi di dalam rumah kami ketika mendengar hasil sidang itsbat Menteri Agama. Kedepan, menurut pendapat saya, sebaiknya sang pembuat kalender jangan langsung membuat hari raya ataupun peringatan keagamaan yang berdasar pada tahun qomariyah (penanggalan bulan) langsung berwarna merah, agar tidak membingung kan masyrakat awam. Karena kalender masehi berdasarkan perhitungan peredaran matahari (ups, matahari tak beredar) maksud saya penanggalan matahari (revolusi bumi terhadap matahari), penanggalan syamsiyah. Jadi, kapanpun lebarannya, nah seharusnya tidak masalah. Namun yang memenuhi relung bathinku, andai yang benar 1 Syawal jatuh hari selasa, berarti puasa yang saya lakukan haram dong. Tapi andai tanggal 1 Syawal jatuh hari Rabu, yang beridul fitri hari selasa, harus mengqodho puasanya lagi. Ah, Walahuwa'lam bishowab. Kapanpun lebarannya, Selamat Idul Fitri, Minal Aidil Faidzin, Mohon maaf Lahir dan Bathin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H