“Sam, kemarilah aku mau bicara. Jangan lupa bawa kopi dan rokok” Ahmad, kakak Sam memanggil selepas sarapan pagi. Sam adalah segelintir dari ribuan santri pesantren yang berada di wilayah Bojonegoro selatan. Setiap menjelang puasa, pesantren selalu menutup kegiatan belajar dengan acara Rojabiyah. Rojabiyah merupakan geliat tahunan pesantren, kemasan acaranya beraneka ragam, mulai dengan imtihan, penerimaan raport santri, muwadaah (perpisahan) lalu diteruskan dengan kepulangan santri ke kampung halaman masing-masing.
“Begini Sam, kamu kan sudah dewasa, sudah saatnya kamu memikirkan jodoh. Teman-teman seangkatanmu yang belum menikah selain kamu adalah Santo dan Aripin, apa kamu tidak ingat kalau Baginda Nabi dan ‘Aisyah juga menikah di usia dini. Ini ada perempuan yang menurut kakak sholihah, ketika dipesantren dulu kakak pernah mengajarnya. Namanya Adelina”
Sebenarnya Sam sempat ingin teratawa karena dua nama yang kakak Sam sebut tadi adalah teman semasa sekolah yang saat ini sedang terganggu jiwanya. Sekitar dua tahun lalu Ahmad, baru boyong dari sebuah pesantren di kabupaten sebelah. Ahmad adalah satu-satunya kakak Sam yang hanya beda usia dua tahun. Semenjak tahun Sembilan puluhan Sam dan Ahmad pisah pesantren. Meski demikian setiap satu bulan sekali Sam selalu nyambangi kakaknya dipesantren guna menyampaikan kiriman dari rumah.
Selepas sholat dzuhur Sam mencoba mengurai ucapan Ahmad sambil menatap atap kamarnya, sempat terlintas dibenaknya sebuah kalimat dari syeikh besar dalam kitab ar-Ruh karya beliau: ketika ada setitik kecondongan hatimu kepada lawan jenis, ketahuilah, bahwa dalam hati orang yang kamu condongi juga terdapat setitik kecondongan yang sama, upayamu lah yang akan merubahkecondongan tersebut menjadi lebih besar atau semakin kecil. Pendaran kata syeikh inilah yang menjadikan Sam bertekad untuk meminta nomor handphone adelina kepada sang kakak dijamuan makan malam nanti.
“Mas, bener kata kakak tadi pagi. Punya nomornya adelina apa ndak mas?” pinta Sam pada kakaknya yang sedikit mengundang kaget semua anggota keluarga ketika sedang menikmati santapan hidangan makan malam.
“Kalau sudah tak kasih, mau kau apakan? Beneran kamu mau kenalan sama dia?” Tanya Ahmad.
“Sam, awas kalau macam-macam, Ibu ndak mau anak Ibu mempermainkan perempuan, perempuan itu seperti botol kalau kamu ndak ati-ati ia akan pecah, kalu sudah pecah akan sangat sulit dikumpulkan” Pesan Ibu pada Sam.
Apa yang dikatakan oleh Ibu tadi cukup mengguyur hati Sam, dalam benak ia berfikir bahwa dalam mencinta ia harus belajar banyak dari sosok Ibu. “Nanti nomornya adelina tak kirim lewat pesan pendek” ucap Ahmad sambil beranjak dari meja makan.
Selepas jamaah Isya’ Sam menuju kamar untuk sedikit mutholaah pelajaran-pelajaran yang ia timba dari pesantren. Hal itu biasa dilakukan seorang santri seperti Sam ketika liburan menjelang Ramadhan, karena Ramdhan depan Sam berniat untuk ikut ngaji pasan dipesantren ternama di daerah Jawa Tengah. Baru beberapa menit ia menelaah kurasan kitab kuning, terdengar telfon genggam Sam berbunyi dan beranjak mengambil serta membuka pesan baru dari sang kakak yang berisikan nomor ponsel adelina.
“Assalamualaikum, bener ini adelina murid pak Ahmad dipesantren dulu?” pesan pendek pertama Sam pada adelina. Tidak lama adelina pun menjawab pesan pendek tersebut. “Waalaikumussalam, injih leres, niki sinten?”. Benar apa yang dikatakan kakak tempo hari kemaren, adelina adalah sosok perempuan yang mempunyai potensi untuk menjadi istri sholihah. Ah tapi sebentar, sepertinya terlalu dini jika aku menyimpulkan sosok perempuan hanya dengan pesan pendek.
Sam: Kenalkan, saya Sam, adik kandung pak Ahmad, apa saya boleh telphone adelina? Tidak ada maksud apa-apa selain taaruf atau perkenalan saja.
Adelina: maaf mas, saya tidak terbiasa angkat telephone dari laki-laki, bukan karena saya angkuh atau yang lainnya, tapi saya hanya melaksanakan dawuh-nya Ibu, sekali lagi maaf mas..
Sam: oh.. saya salut pada adelina yang sangat keukeuh memegang dawuh-nya Ibu, baiklah.. besok kita sambung silaturrahminya. Assalamualaikum.
Adelina: injih, Waalaikumusalam.
Matahari telah telah merangkak melebihi ketinggian satu tombak, itu menandakan telah masuknya sholat Dluha. Dari kecil Sam dididik oleh orangtuanya untuk senantiasa mengawali kegiatan dengan sholat dluha. Ketika sam melantunkan doa setelah sholat dluha: Allahumma in kaana rizqy fissama’i fa anzilhu, wa in kaana fil ardli fa akhrijhu, wa in kaana ba’iidan fa qorribhu, wa in kaana mu’siron fa yassirhu (ya Allah, jika rizkiku dilangit turunkanlah, jika dibumi keluarkanlah, jika jauh dekatkanlah, jika sulit mudahkanlah) kembali terbesit dalam ingatannya sosok adelina, karena setahu sam berdasarkan ngajinya dengan ustadz dipesantren, jodoh itu juga termasuk rizki.
Selepas sholat dluha sam ingin ngopi kerumah kakaknya yang tak seberapa jauh, memang semenjak Ahmad menikah dengan gadis yang masih tergolong santrinya sendiri, Ahmad memilih untuk membuat rumah sendiri yang tak jauh dari rumah orangtuanya. Mungkin langkah itu ditempuh kakak sam untuk menimalisir angka ketidak cocokkan antara menantu dengan mertua.
“Mbak.. tolong buatkan wedang kopi, bukannya saya lancang nyuruh-nyuruh mbak,, saya hanya ingin mencicipi wedang kopi buatan mbak” rayu sam pada mbak yani istri kak ahmad yang dulu juga sepondok dengan adelina. “Mbak dulu sepondok dengan adelina yha? Punya foto-foto kenangan bersama teman-teman pondok mbak dulu gak? Saya pengen lihat mbak”. Sambil mengaduk wedang kopi mbak yani menjawab: “iya sam mbak punya, denger-denger kamu lagi dekat sama adelina ya ? kamu tanya foto mau lihat wajah adelina kan? Ini kopinya, sebentar mbak ambilin fotonya”
Sam semakin yaqin dengan perasaan cintanya setelah melihat foto yang diperlihatkan mbak yani siang tadi, meski dipesantren ia sudah terbiasa melihat wajah seputih, sebersih dan seanggun adelina, namun bagi Sam sosok adelina lain, ada aura lain dalam wajah adelina. Sam hampir tak sadarkan diri karena terpesona saaat memandangi mata, alis dan dagu adelina dalam foto itu, hati kecilnya pun bergumam lirih: “hasya lilllaah, ma hadza basyaro (maha suci Allah, ini bukan manusia)”.-potongan salah satu ayat al-Quran yang pernah diucapkan wanita Mesir saat melihat ketampanan Yusuf As.-
Gemuruh cinta menghampiri hati sam, akalnya pun tidak mampu berfikir sejernih biasanya. Sampai sang fajar tenggelam diufuk barat, sam masih selalu terbayang sosok adelina, tanpa berfikir panjang ia pun segera mengambil ponsel dan mengetik sebuah pesan pendek pada Adelina; “assalamualaikum. Maaf, apa sms saya ini menggangu aktifitas sampean? Saya hanya ingin meminta alamat email adelina” jujur semenjak saya kenal adelina lidahku tak bisa melarang tangan dan jemari untuk menulis risalah ke adelina. Saya tunggu. Lebih dari lima jam sam menunggu jawaban dari adelina dengan perasaan gundah dan galau, berkali-kali ia baca ulang sent messege dalam ponsel-nya sambil bertanya-tanya “apa ada yang salah dengan yang saya tulis?!” gundah sam semakin berlarut sampai tengah malam.
Seusai berwudlu dan gosok gigi sam segera menuju kamar tidurnya, merebahkan badan dan istirahat agar nanti tepat pukul 03.00 dinihari ia bisa melaksanakan tahajjud seperti biasa. Arah jarum jam telah menunjukan pukul 00.10 namun mata sam belum juga terpejam karena terbayang sosok adelina dalam foto itu, ia kayuh ponsel-nya dan ia kaget ternyata adelina telah membalas pesan pendek -nya lima menit tadi.
”waalaikumussalam, maaf mas Sam, adelina baru pulang ngaji sama Umi. Tidak mengganggu kok.” Dalam sms itu adelina juga menuliskan alamat emailnya lengkap dengan akun Facebook dan twitter
“Mas... E- Mailnya Adelina tunggu ”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H