Mohon tunggu...
Mbah Lapendos
Mbah Lapendos Mohon Tunggu... -

Sang Perindu-Mu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Juminten, Bekas Lonte

23 Juni 2012   12:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:37 52747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama KTP-ku Juminten dan aku dulu selalu dipanggil Jenny. Sekarang aku dipanggil Minten. Umurku baru 23 tahun, berstatus gadis namun memiliki anak kandung 2 orang. Ibuku seorang lonte tua di komplek lokalisasi Secanang Belawan. Sementara bapakku adalah seorang tukang beca yang sehari-harinya mencari penumpang para hidung belang yang keluar masuk lokalisasi dan terkadang yang mencarikan pelanggan buat ibuku dan aku dulu. Aku tidak tahu apakah ayahku ini adalah ayah kandungku atau bukan, yang jelas di kartu keluargaku dialah ayahku.

Jangan tanyakan siapa ayah dari kedua anakku, sebab aku juga nggak tahu siapa ayah mereka. Yang jelas akulah ibu kandung mereka. Aku tinggal di sebuah rumah kontrakan yang memang letaknya agak jauh dari kompleks lokalisasi itu.

Sudah setahun ini aku tidak lagi melayani para lelaki hidung belang. Semenjak aku tidak lagi melonte, aku beralih profesi sebagai penjual jamu. Yah…. Layaknya penjual jamu gendong lainnya, maka aku menggendong bakul berisi botol jamu serta berbagai bahan lainnya. Trayek jualanku di sekitar pasar Belawan Medan yang melayani pembeli para pedagang yang berjualan di sana.

Namanya juga bekas lonte, ya sering kalilah para pedagang itu menggodaku dengan berbagai polah tingkahnya. Aku hanya tersenyum saja, mereka nggak salah, sebab aku memang dulunya seorang lonte, yang barang kali di antara mereka juga pernah kulayani tidur di kompleks lokalisasi itu dan aku jelas tak ingat wajah mereka, sebab dalam semalam aku biasanya melayani minimalnya empat lelaki. Ku anggap itu hanya sebagai cobaan saja, dan memang terkadang ini menyakitkan… sakit sekali sebab aku sudah nggak melonte lagi untuk waktu yang lama, namun mengapa mereka tetap memandangku sebagai lonte.

Aku berhenti melonte gara-gara seorang pemuda yang misterius bagiku. Dia memperkenalkan diri dengan nama Hendra. Waktu itu dia datang ke pub tempat biasa aku mangkal mencari pelanggan, dan dia duduk di sofa di sudut ruang. Dia memesan air mineral dan kacang goreng… iya hanya itu. Padahal kutawarkan vodka atau minimalnya anggur merah. Dia tetap tidak mau sambil tersenyum menolaknya. Anehnya lagi dia mau bayar aku penuh untuk Long Time hours tapi hanya untuk menemaninya duduk. Padahal aku saat itu sudah dengan berbagai cara menggodanya agar mau ke tempat tidur. Tapi dia tetap menolak dan hanya mau ngajak ngobrol. Itupun dia minta agak jauhan. Ya saat itu, aku sebagai lonte yang harus memuaskan pelanggan maka ku layani sajalah apa maunya.

Kami bercerita panjang lebar sambil bercanda dan tertawa. Dia sangat menyenangkan. Penampilannya juga lumayan dan yang penting ramah. Memang dia nampak bukan seperti lelaki hidung belang juga bukan nampak seperti lelaki mata keranjang. Dia sangat menghormatiku saat itu dengan tidak menyentuh sedikitpun kulitku apalagi yang lainnya dan ini berlaku seterusnya. Padahal aku ini lonte yang biasa dijamah sana sini tanpa tersisa bagian ruas tubuhku.

Pertemuan seperti ini bukanlah sekali, bahkan berkali-kali. Kadang hampir setiap malam minggu dia datang dan selalu aku yang dipilihnya untuk melayaninya ngobrol. Kadang aku heran, kalau hanya untuk ngobrol lantas mengapa harus sama lonte, padahal dia lelaki baik-baik yang mestinya punya pacar ataupun barang kali menikah dengan gadis baik-baik juga. Namun waktu kutanyakan itu, jawabnya sederhana sekali: “semua manusia itu sama, yang membedakan hanyalah takut apa tidaknya sama Allah”. Pertanyaan itu kuajukan setelah lima kali dia mengunjungiku. Aku terdiam mendengar jawabannya. Ada rasa sedih di hati. Ada rasa teriris di hati. Aku yang lonte begini sudah tentu buruk di mata Allah.

Setelah mendengarkan jawabannya itu, sering ku menangis seorang diri. Apa mungkin aku bisa menjadi baik? Apa mungkin Allah mengampuniku? Kalau ku tinggalkan ini semua, lantas aku mau makan apa? Ada dua orang anak yang harus ku beri makan dari kemaluanku ini. Dan aku juga tidak mungkin akan seperti ini terus, sebab pastinya aku semakin tua dan keriput dan tentunya susah laku.

Pertemuan berikutnya, ku bicarakan hal ini padany. Ku nyatakan keinginanku untuk tobat padanya. Dia hanya tersenyum menanggapi keinginanku dan dia berkata:

“Nggak usah terburu-buru mau tobat… nggak apa-apa… Allah itu Maha Pengampun kok… Tenang sajalah… jalani saja terus profesimu. Kalau mau tobat pelan-pelan saja… jangan total, kalau total nanti bisa baling dan nggak sanggup dengan tobatmu itu sendiri.”

“Jadi apa ya yang harus Jenny lakukan Mas?”

“Gini aja…. Shalatlah kamu Jen sebisamu… kalau bisamu Maghrib… ya Maghrib sajalah dulu sampai kamu bisa menetap shalatmu. Setelah itu di tambah isya’ dan seterusnya… pelan-pelan sajalah.”

“Tapi aku kan lonte mas… masak shalat!”

“Ya nggak apa-apa… shalat itu bukan hanya milik ustadzah atau hajjah,…. Lonte juga punya shalat loh…”

“Trus kerjaanku gimana?”

“Ya jalani sajalah terus… nggak apa-apa. Setelah shalat isya’ kamu cari saja pelanggan dan layani seperti biasa”

“Iya ya mas… nanti Jenny lakukanlah.”

Dua bulan dia menghilang tak berkunjung. Saat itu kulaksanakan apa yang disarankannya. Aku shalat maghrib dan isya dan setelah itu aku melonte sebagaimana biasa. Terkadang ku tambahkan dengan zhuhur dan ashar, yang jelas saat tidak melayani pria hidung belang dan bila waktunya tiba maka aku shalat.

Aku belajar shalat dari buku yang ku beli di pasar Belawan. Walau nggak bisa ngaji namun untungnya ada teks latinnya. Kawan-kawanku pada mentertawain aku. Dan aku tidak perduli.

Semakin lama kujalani, semakin ada kegelisahan dan sekaligus ketenangan di hati. Gelisah saat melayani tamuku, dan tenang saat shalat. Gelisahku semakin memuncak sehingga sering kali aku menangis saat shalatku. Menangis ternyata aku kotor sekali. Terlalu banyak dosaku yang mungkin tak terampuni.

Pada malam minggu itu setelah dua bulan menghilang, Mas Hendra datang, aku senang sekali begitu melihatnya. Ku ceritakan semua kegelisahanku dan juga ketenanganku. Kemudian keinginanku untuk meninggalkan ini semua. Termasuk kebingunganku mau kerja apa aku dengan tanpa pendidikan dan keahlian selain keahlianku di tempat tidur.

Dia menyarankan aku berjualan jamu. Dan malam itu dia memberikan uang dua juta kepadaku agar aku mau pindah ngontrak rumah di luar kompleks itu dan sisa uang kontrakan itu untuk modalku berjualan jamu.

Inilah aku sekarang ini. Si Juminten bekas lonte yang sekarang berjualan jamu. Alhamdulillah shalatku selalu kujaga. Juga kurawat dan kudidik anak-anakku yang tanpa ayah itu; dengan baik. Aku tidak mau mereka menjadi sepertiku. Biarlah aku yang seperti ini. biarlah aku yang dulunya lonte kini sebagai Juminten si penjual jamu. Biarlah orang mencemo’ohkan aku dan menganggap aku tetap sebagai lonte.

Mas Hendra hilang entah kemana. Aku pun lupa untuk meminta nomor HP-nya. Sekedar untuk mengucapkan terima kasih padanya. Karena melalui dialah aku menjadi seperti ini. Barang kali dia sekarang sudah pindah lokasi untuk mencari Jenny-Jenny lain yang ingin diajaknya untuk kembali menjadi Juminten si Hamba Allah. Aku hanya bisa berdo’a agar senantiasa dia; Mas Hendra; selalu diridhoi Allah dan mendapatkan perlindungan-Nya. Amiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun