Tak kusangka hujan badai itu datang lagi. Di saat kita berusaha memupuk tanaman yang kita semai bersama di ladang itu. Di saat aku mulai yakin dengan panen pada musim mendatang, hujan badai memporak-porandakan semuanya.
Hari-hari terakhir ini kau telah berubah. Kau menolak untuk memupuk tanaman itu, meski aku mencangkulnya setiap hari. Kau menemukan alasan untuk tak melakukannya. Intuisiku mengatakan ada tanaman lain yang kau semai tanpa sepengatahuanku. Kurangkai fakta dan temuan kecil yang kupunya. Meski semua mengarah kesana, tapi aku selalu berusaha menepisnya. “Tak mungkin,” itulah jawabku setiap kali pertanyaan itu muncul di benak. Tapi perubahan-perubahan kecil padamu yang tak kausadari, selalu menjadi perhatianku. Intuisi ini tajam, intuisi ini nyata dan sudah beberapa kali terbukti. Bahkan aku tahu hari itu kau akan menghubungi aku lagi setelah bertahun-tahun komunikasi kita terputus. Bisikan-bisikan itu sulit untuk diabaikan. Mungkin ini sebuah karunia.
Telah kuingatkan bahwa musim ini kejam, musim ini saling memangsa. Musim di komunitas ini hanya semu dan tak nyata. Tak perlu membuka peluang orang asing untuk datang dan menganggu tanaman kita. Aku khawatir tanaman kita akan jadi korban dan takkan ada panen pada musim mendatang. Tapi sulit untuk menghentikanmu di tengah euforia dalam komunitas itu.
Sekarang setelah badai ini, aku melihat ujung riwayat tanaman yang kita semai bersama. Aku tak pernah menginginkan akhir seperti ini. Kau memang bebas menentukan ladang mana yang kaupilih untuk tanaman barumu, seperti yang kauimpikan. Aku harus ikhlas tak menjadi bagian dari mimpimu itu. Namun satu hal yang harus kautahu, aku akan tetap memelihara tanaman lama kita. Biarlah aku sendiri yang memupuk dan menyiramnya tiap saat, seperti janjiku saat itu. Aku akan tetap menghadapi badai yang akan datang, meski hanya sendiri tanpamu. Untuk yang terakhir kali kukatakan, aku tak pernah menyesal telah menitipkan secarik kertas di pintumu waktu itu. Aku memang datang hanya untuk satu orang dan untuk satu alasan.
Sekarang, setelah badai ini reda, tak ada amarah atau dendam dalam hatiku. Yang ada hanya doa tulus untuk kebahagiaanmu. Dan… ijinkan kuambil kembali bunga cinta yang pernah kutitipkan di hatimu. Aku tak ingin cintaku itu membebanimu. Kini, tak ada lagi yang akan kukatakan selain bersyukur bahwa aku mencintaimu.
Ya…. aku bersyukur pernah mencintaimu.
——————————————————————————– Ditulis atas pesanan seorang sahabat lama. Origin by: Mario Elang
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI