("Bapak apa kabar?" jerit suara hatiku dalam hati).
Hari ini aku mencari segumpal tanah yang tersisa. Hitam dan kecoklatan, tidak ada nampak di mata temukan putih mewangi. Dan biarkan aku sendiri menyendiri bersandar pohon kamboja. Di sini aku mencari kedamaian sepi. Mencari teman sejati, hadirkan cerita biar sepi melangit meninggalkan setinggi langit.
Kembali menyongsong senyum yang hilang. Jarene koncoku " tiap anak tangga yang aku pijak, memiliki sudut kemiringan tersendiri, jadi jangan bandingkan sama ratanya."
Persis, jauh waktu berpijak aku lalui.
Kembali ke cerita di angkringan. Aku lanjutkan cerita...
Segelas teh, sederhana. Diam-diam aku membuka HP, mengambil potret kejadian. Sedikit buram, terlepas jarak di seberang jalan, pula kondisi HP karena rentang waktu terlalu jauh.
Selang berganti sepeda motor lalu lalang, gerobak-gerobak besi melintas diantara perih yang tidak terasa, adapula irisan pejalan kaki sedikit sekali melintang. Tapi sekali lagi, gambaran itu yang bukan aku ingin ungkapkan.
Perasaanku tergoda bukan karena sesosok sijoli bergoncengan. Perasaanku yang mengatakan sekali lagi, hanyalah mendekap rasa lelah dan rindu.
Kembali...aku pernah jadi anak muda hebat. Berdasi, rambut klimis. Kerja di ruang AC dingin selalu rapi dan wangi. Seolah-olah "Dewa Penolong", tiap orang datang membutuhkan tanda tanganku, aku orang yang bisa memberi solusi keuangan dengan berdalih  mengembangkan usaha memberi suntikan modal. Pula menambah pundi-pundi digit rekening, boleh jadi sebagai simbol emas yang memberat di kantong. Sekilas saja, selebihnya tidak aku ungkap di sini karena aku hanya rindu....
Sebuah bus dari kejauhan melambat. Awalnya aku berpikir, biasalah bus sedang akan menaikkan penumpang atau menurunkan penumpang. Bus favoritku yang setia kala dulu menyusuri malam gelap malam terkadang berkabut putih. Memberikan sedikit dorongan untuk selalu berjalan di sebagian malam, karena saat hujan dingin lawan-lawanmu sedang tidur. Saat itu kamu bisa melaju lebih kencang meninggalkan seorang diri tanpa sisi panas yang menyebabkan kemacetan. Tersenyum aku teringat "Tertimbun Sampah Jabatan" aku menyebutnya. Aku salah waktu itu memahami gelap malam.
Yang jelas aku bersyukur, di angka menjelang ke 40 aku di sandarkan pada pohon Kamboja, pohon yang sekarang sedang aku sandari. Di sini titik lemahku mencari keseimbangan karena panas hari dan hujan yang berlebihan.