Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obrolan Bapak dan Anak (Jalan-jalan ke Sawah)

5 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 5 Mei 2023   18:16 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OBROLAN BAPAK DAN ANAK (JALAN-JALAN KE SAWAH)

Mbah Har - Wahyu

Minggu pagi ini, Nur panggilan akrab dari Nur Muhammad menyusuri pematang sawah. Nur tidak sendiri, Nur berjalan bergandeng tangan dengan Bapaknya.

Mereka, Bapak dan Anak sangat-sangat menikmati hawa pagi dengan kesejukan yang merasuk ke sum-sum tulang. Pelan tapi pasti menyusuri jengkal tiap jengkal tanah dengan rumput-rumput masih basah setelah semalam diguyur embun dari balik gunung sana.

Terdengar pula suara seruling bambu dari balik bukit sebelah timur. Pemandangan biasa dari tiap pagi dipandang mereka-mereka yang melintas tepian sawah ini.

Suara seruling bambu itu ditiupkan dengan merdunya oleh seorang kakek di balik bukit sana. Seorang diri kakek itu tinggal, seorang diri pula melewatkan harinya begitupula menghabiskan sisa waktu umur yang tersisa.

Semua orang, semua warga di desa tahu siapakah beliau kakek ini. Beliau termasuk orang yang disegani, beliau adalah satu-satunya cikal bakal pendiri desa ini yang masih diberi umur, yang lain telah pergi mendahului.

Pastilah tak diragukan lagi usianya beranjak senja. Sangat-sangat lanjut memperkirakan lebih dari seratus tahun. Usia yang panjang untuk zaman dan waktu seperti sekarang ini.

Tak perlu ragukan pula rambutnya penuh dengan uban. Hampirlah tidak ditemui rambut hitam, mungkin pula giginya tinggal dua, mungkin pula tidak.

Bapak Nur mengatakan pada Nur, dulu...saat masih kecil Bapak Nur sering naik kebo-kebo milik kakek di balik bukit sana. Bermain dan bercanda bergulat dengan lumpur alangkah menyenangkan.

Itu dulu sekali, kira-kira seumuran dengan Nur. Dan hal itu tak berlangsung lama, selang naik SLTP harus pindah ke kota sana mengikuti orang tua. Sejak saat itu tak pernah jumpa lagi hingga saat ini.

Dulu...kakek itu hanya tinggal di dekat gubug sana, sebelah timur sana ditunjukkan dengan jari. Namun, setelah sekian tahun lamanya rumahnya telah berdiri sebuah sekolahan. Dan kakek itupun mengasingkan diri di balik bukit sana menghabiskan sisa-sisa umurnya.

"Lalu kebo-kebonya ke mana, Pak?"

"Ada!" kebo-kebo yang digembala di sini, di sawah ini milik kakek itu. Seluruh kebo yang dimiliki kakek, diserahkan kepada warga untuk dirawat dan dibesarkan. Kakek itu ingin benar-beanr menyepi.

"Kakek itu namanya siapa?"

Bapak Nur menggeleng. Menggeleng bukannya tidak tahu, hanya untuk apa diketahui. Biarkanlah kakek itu istirahat dengan tenang di balik bukit sana. Untuk apa mengungkit-ungkit orang yang telah lelah menjalani kerasnya kehidupan, yang penting untuk diketahui adalah jiwanya.

"Anak-anaknya atau keluarganya?"

"Kita...!" kita adalah keluarganya. Semua orang yang dipermukaan bumi ini adalah saling saudara. Jadi, kitalah pula saling jaga dan saling bina, juga untuk menjaga kakek itu, kalau bukan kita lantas siapa lagi?

Mereka, Anak dan Bapak makin jauh menyusuri pematang sawah. Panas tak dihiraukan, membentang hijau di kaki langit lebih indah.

Pak tani dengan rajinnya menggarap sawah. Menyiangi rumput serta membasmi hama dan gulma, tak terkecuali tanaman-tanaman penggangu akan mengganggu tumbuh suburnya tanaman padi disikat.

"Nur...lihat kawan-kawanmu itu!"

"Yaa...tapi Nur tak kenal siapa mereka."

Memang tak pernah bakal kenal. Bukan itu, tapi belum kenal. Belum waktunya saling kenal, nanti dengan sendirinya bilamana ada waktu kita akan kenal lebih jauh tentang mereka.

"Maksud Bapak?"

Anakku...mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti. Bukannya terlalu kecil, mungkin belum waktunya mengerti. Kelak kau dewasa akan mengerti dengan sendirinya.

"Bapak dulu tinggal di mana?"

Di sini...di kampung ini. Kata Bapak Nur, kita akan ke sana untuk bercerita masa kecil Bapak. Di ujung desa ini, di seberang sungai akan dijumpai sisa-sisa ketegaran dari bekas seorang anak kecil yang punya ambisi untuk menaklukan langit.

"Langitkan di atas, langit yang mana?"

Bapak Nur hanya tersenyum. Beliau merasakan pertanyaan dari anaknya. Dengan menenteng senyum, terus diajaknya Nur melangkah selangkah demi selangkah biar kata pelan dan lama yang terpenting sampai tujuan.

"Pak...apakah tidak ada jalan lain? Semisal lewat jalan dengan motor. Lalu untuk apa kita bawa motor, apa hanya untuk dititpkan pada Pak RT?"

Nanti ... jawabnya Bapak Nur. Nanti bilamana ada kesempatan akan mengerti, sementara jalani aja dan amati sekeliling apa yang terjadi.

Sawah hijau, panas mentari menyengat kulit.  Pak tani yang membajak tanah, anak-anak yang ikut membantu orang tuanya. Ibu-ibu yang mengirim makan siang untuk selanjutnya dinikmati bersama, bersama dipinggir pematang sawah.

Kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh jua, dan anak beserta bapak harus menerima pil pahit. Lumpur sawah nyangkut di celana dan baju. Itu sudah pasti dan pasti demikian berjalan menyusur sawah, sandal dan kaki tak luput jadi taruhannya.

Keringat karena panas dan terik pastilah. Itu pasti turun dengan deras mendera membasahi. Bila tidak, mungkin namanya tidak normal dan patut dipertanyakan mungkin ada yang nggak beres.

"Bapak sih...kalau lewat jalanan pasti nggak bakalan begini!"

"Nur...inikan juga jalan!"

Menurut Bapak Nur, tidak salah untuk mengomel dan menggerutu. Nur berkata begitu hanya karena belum tahu saja dan pastilah tidak demikian bilamana beranjak tahu dan telah mengetahuinya.

Jauh...juga gerutu Nur. Dari tadi tiada henti menggerutu. Menjejal dengan muka yang muram dan cemberut. Jangankan ketawa, menangis aja agaknya nggak kesampaian di mulut tujuan.

"Nur, lihat orang-orang di tengah sawah sebelah sana?"

"Apanya yang menarik, Pak?"

Menarik sekali, mereka dapat ketawa dan sendau gurau, sedangkan Nur tidak demikian. Mereka sudah dapat pahami walaupun sebagian kecil. Tidak demikian dengan Nur yang masih terlalu hijau untuk itu.

"Lelah?"

"Yaa pasti Pak, siapa orangnya tak lelah?"

"Lha itu mereka baik-baik saja."

"Senengane membandingkan!"

Namanya juga anak-anak, nggak ngertilah gapai mentari. Jiwa tak menentu terangi sedikit kesusahan dan kesulitan. Tahunya sesuatu yang lugu untuk dirinya.

Bapak Nur menunjukkan sesuatu pada Nur. Pintanya, dengar gemericik sungai itu, pasang telinga baik-baik. Konsentrasikan juga pandangan, jangan terbang ke mana-mana. Tempatkan untuk bisa tebari tak seberapa lebar. Cukuplah untuk seorang yang bisa tebari bunga dengan jalan yang lugu.

"Mana...mana Pak?"

Sekali lagi si Bapak tersenyum dengan ramahnya. Ada dihadapan yang hanyalah itu saluran got biasa. Tidak didapati yang namanya sungai, apalagi riak air yang dimentah-mentah disuruh pasang telinga.

"Bapak bohong!"

Nur lagi marah dan ngambek. Dekap dengan senyuman si Bapak mengelus-elus rambut Nur kecil agar tetap tenang. Majulah terus mereka mengukur tiap petak jengkal tanah yang basah.

"Aku haus!"

"Haus?"

"Aku haus Pak...Nur haus sekali!"

Haus...jangan bingung-bingung, tinggal teguk dan minum aja redakan haus dan dahaga tubuh. Cukup dengan senyum legakan segala nestapa dan derita dengan sendirinya semua akan terbilang.

"Tahan!"

Apa, tahan? Singkat jawab Bapak Nur kepada Nur. Tambah jadi-jadinya Nur menggerutu, segala apa yang dihadapannya ditendang dan dipukul. Mana hadap, entah itu kaleng-kaleng berserakan ataupun ranting-ranting singkong tak tahu menahu dibabatnya habis, bilamana nggak ada yang tahu dan bilamana perlu dijebol sampai ke akarnya.

Si Bapak lagi menggeleng. Hilangkan kemurkaan Nur dengan merangkul perlihatkan semua hatinya. Dikatakan pada Nur, kesombongan dan segala harta ada di sini dengan segala materi. Dan bilamana telah mencatatnya, takkan lelah bersinar dan mampu lepaskan terbang meninggi meninggalkan.

"Bapak ada-ada saja...ngapain kita kemari bicara soal harta, harta apa, Emas?"

Si Bapak senyum lagi. Nur hanya lelah belum siap untuk itu. Belum lagi dapatkan sayap untuk terbang dan wujudkan perjalanan. Tak usah pikirkan wujud perjalanan saat ini, kata Bapak Nur kepada Nur dan jalani saja jalanan yang terkira berbatu dan kerikil yang dengan sendirinya akan tunjukkan jalan ke sana.

"Bapak makin aneh sih, mata saja terkadang tak bisa melihat, mana mungkin batu dan kerikil akan tunjukkan jalan?"

Banyak senyum rupanya si Bapak. Tak terbesit sedikit asapun untuk  marah kepada anak semata wayangnya, justru makin dekap erat dan dibelai dengan lembutnya.

"Nur pasti lelah, kita istirahat sebentar di bawah pohon sana. Tapi, Bapak nggak mau dengar Nur bilang lelah atau capek!"

Tambah nggak ngerti itu anak. Capek yaa tetap capek, gimanapun lelah adalah capek dan harusnya istirahat. Apanya, bukannya melulu jalan yakinkan tunjukkan tempat buat berteduh.

Enak berteduh di bawah pohon. Semilir angin sepoi membelai. Pucuk-pucuk ranting nyanyikan denyut dan denyit derit-derit, begitulah kata Bapak itu pada Nur anaknya.

Nur makin heran dibuatnya. Mana tak ditemukan pohon, mana ada lagi ranting-ranting. Bukankah itu, anak dan bapak sedang berteduh di bawah gubug?

"Bapak bilang kita istirahat, bukan untuk tidur. Bangun, jangan pernah ada kata capek!"

Apa? Besok malam baru boleh kita tidur. Singkat padat dan pasti mengusik Nuir yang terkuak rasa kantuk tak tertahankan. Gimanapun rasanya hanya tersisa rasa hormat yang tak membuatnya berontak dan lari sejauh-jauhnya.

"Nur...mungkin marah pada Bapak, hanya saja ini semua terjadi karena kamu belum mengerti, nanti suatu ketika akan tahu!"

Namanya Nur yang masih anak-anak, terkantuk dan tertidur juga dipangkuan Bapaknya. Dan dengan belaian yang penuh kasih sayang, Nur pulas menyongsong harinya sekiranya dinyanyikan lagu nina bubuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun