Memang tak pernah bakal kenal. Bukan itu, tapi belum kenal. Belum waktunya saling kenal, nanti dengan sendirinya bilamana ada waktu kita akan kenal lebih jauh tentang mereka.
"Maksud Bapak?"
Anakku...mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti. Bukannya terlalu kecil, mungkin belum waktunya mengerti. Kelak kau dewasa akan mengerti dengan sendirinya.
"Bapak dulu tinggal di mana?"
Di sini...di kampung ini. Kata Bapak Nur, kita akan ke sana untuk bercerita masa kecil Bapak. Di ujung desa ini, di seberang sungai akan dijumpai sisa-sisa ketegaran dari bekas seorang anak kecil yang punya ambisi untuk menaklukan langit.
"Langitkan di atas, langit yang mana?"
Bapak Nur hanya tersenyum. Beliau merasakan pertanyaan dari anaknya. Dengan menenteng senyum, terus diajaknya Nur melangkah selangkah demi selangkah biar kata pelan dan lama yang terpenting sampai tujuan.
"Pak...apakah tidak ada jalan lain? Semisal lewat jalan dengan motor. Lalu untuk apa kita bawa motor, apa hanya untuk dititpkan pada Pak RT?"
Nanti ... jawabnya Bapak Nur. Nanti bilamana ada kesempatan akan mengerti, sementara jalani aja dan amati sekeliling apa yang terjadi.
Sawah hijau, panas mentari menyengat kulit. Â Pak tani yang membajak tanah, anak-anak yang ikut membantu orang tuanya. Ibu-ibu yang mengirim makan siang untuk selanjutnya dinikmati bersama, bersama dipinggir pematang sawah.
Kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh jua, dan anak beserta bapak harus menerima pil pahit. Lumpur sawah nyangkut di celana dan baju. Itu sudah pasti dan pasti demikian berjalan menyusur sawah, sandal dan kaki tak luput jadi taruhannya.