Aku lihat dari sini dan aku pula saksikan dari sini. Aku tak pernah memandang dengan sebelah mata, tetapi mereka terkadang memandangku dengan sebelah mata. Mungkinkah itu terjadi? Jawabku iri mungkin saja. Dan mungkinkah itu berlanjut? Dalam lajur yang sama aku melompatkan anggukanku. Ke mana dan apa batasnya?...waktu!
Silau...analisa mataku betapa menelungkup menolak datangnya. Merah terkadang direkomendasikan, kuning mungkin dihempaskan persis ke mataku yang terbuka. Mereka pikir mereka pikirkan telah membuat mereka mencuat, justru buatku menyantera sandera ciut di bidak belah bola mata masih berpijar.
Entah kenapa, entah ada apa...entah. Aku tak ada mau beranjak dari tempatku duduk, aku tak peduli lambaian angin membisiki telingaku bahwasanya di sana ada...ada apa aku tak mau tahu, yang aku tahu bukan saatnya atau tidak saatnya...
Mentari...aku kira memang tempatnya dari timur sana. Sesuai kisahku pula, murni melepas bintang fajar di kala senja dan murni akan kembali pada fajar dikemudian.
Air...sengaja dan memang kodratnya merendahkan riuh, antaranya pula air mukaku hiraukan dalam sekejab. Tak tertinggalkan aku tinggalkan pesan agar pada saatnya mentari melalui tangan-tangan air membawakan sepucuk suratku yang aku titipkan pada merpati putih.
SELANJUTNYA...
Dari...aku temukan...aku telah ketemukan...aku telah menemukannnya....untuk yang aku temukan.
SETERUSNYA...
Banyaknya waktu mengalir, akan banyak pula yang terjadi, entah itu peristiwa atau yang kita sebut dengan peristiwa.
Makin sering aku bergegas, makin sering pula aku ketinggalan. Dan seingat-ingatnya aku, lebih banyak lupanya daripada melupakannya.
Sekejab aku kecup, tinggallah kini dengan hati dan perasaan yang konstan menyertai. Selebihnya aku tak ingin melebih-lebihkan kisah dirinya dengan segala kelebihannya dan keteraturannya.