Mohon tunggu...
mbahdo Widodo
mbahdo Widodo Mohon Tunggu... -

Seorang hamba Tuhan, warga negara Indonesia, warga dunia, warga alam semesta. Tulisan? Saya suka. Menulis? Saya belum yakin.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Duh Gusti, Kapal Kami Oleng (Repost)

10 Oktober 2010   06:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:33 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_284794" align="alignnone" width="300" caption="Diunduh dari e-onsoftware.com"][/caption]

(Note: Tulisan ini direpost, karena posting yang pertama tidak bisa dikomentari).

 

 

Kami memang bangsa bahari. Kami terlahir di deretan pulau-pulau sepanjang lebih dari 5000 kilometer pada garis khatulistiwa, yang kami dengan bangga menyebutnya sebagai Nusantara. Pulau-pulau kami bagaikan untaian kalung zamrud yang menghiasi dada Ibu Pertiwi yang cantik molek. Laut dan selat bukanlah pemisah diantara pulau-pulau kami, tetapi justru menjadi penghubung. Kami hidup ber-puak2, ber-suku2, namun kami merasa sebagai satu keluarga besar yang bahagia. Tampilan kamipun ber-beda2. Sebagian bermata sipit, lainnya bermata besar. Sebagian kulit kami kuning, coklat, putih, dan juga hitam. Sebagian kami berambut lurus keriting ataupun brombak. Sebagian dari kami adalah pemuja Sang Hyang Widi Wasa, sedangkan lainnya adalah ummat Muhammad sang Rasul Terakhir. Sebagian lagi adalah penyembah Yesus Kristus sang Juru Selamat, sedangkan lainnya adalah peniti jalan pencerahan sang Budha Gautama. Namun kami semua adalah hamba Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menciptakan negeri elok Nusantara ini. Segala puji bagiNYA.

 

Para pemimpin kami telah berjuang ber-darah2, membangun sebuah kapal besar yang bernama Republik Indonesia. Sebuah kapal yang kami layarkan, kami kemudikan menuju pantai Adil Makmur. Lihatlah keindahan dan keanggunan kapal besar kami. Lunas dan badan kapal kami yang kokoh dibangun dengan kayu2 paling keras dan liat dari seluruh negeri. Layarnya ditenun oleh tangan2 gemulai wanita2 kami yang cantik perkasa. Tali2nya dipintal dari serat2 paling ulet yang ada di seluruh negeri ini. Lihatlah betapa anggun ia membelah tujuh samudera, menempuh badai dan topan, menghindar gosong dan karang. Kami memang bangsa bahari. Lihatlah kebanggaan kami sebagai Anak Buah Kapal, yang rela berjuang dengan keringat darah dan air mata, demi tegaknya kapal kami, demi tercapainya pantai impian kami. Lihatlah para perwira kami yang sigap mengendalikan kapal dan berkeringat bersama kami. Dan kapten kami, yang selalu awas dengan teropong dan peta ditangan. Kapten kapal kami, yang dihormati di tujuh samudera

 

Betapa kami tak bangga berada diatas kapal ini? Setelah keberangkatan kami, maka puluhan bangsa lain seakan berlomba membangun kapal mereka mengikuti kami. Kapal kami telah menginspirasi mereka untuk menentukan tujuan mereka sendiri. Tak puas sebagai budak yang menumpang di kapal tuan2 mereka. Dan merekapun seakan berbaris dibelakang kapal kami yang perkasa. Kami memang bangsa bahari.

 

 

***

 

Tiba2 aku terbangun oleh suara gaduh, dan kapal kami oleng. Arahnya tak teratur, kadang kekanan, kadang kekiri. Kuperhatikan sekeliling. Hah. Kapalku tak mulus lagi. Kayu2nya sebagian rusak disana-sini. Layarnya berlubang disana-sini. Dan yang lebih membuatku terhenyak, beberapa ABK sedang pamer tas kain yang terbuat dari kain layar. Hah? Sebagian lagi sedang membuat patung dari kayu kapal. Ini gila! Dan ternyata olengnya kapal bukan karena ombak, sebab kapal2 lain meluncur dengan tenangnya. Olengnya kapal kami, sebab kelompok2 ABK saling berkelahi. Dan yang lebih mengagetkanku, sebagian kapal yang tadinya dibelakang kami, menyusul dan meninggalkan kapal kami. Dan yang paling menyakitkan, sebuah kapal menyusul, menyerempet kapal kami, dan dengan gesit menyalip kami. Kami lihat ABK mereka tertawa, meledek dan melecehkan kami. Ya Tuhan, dimanakah para perwira?

 

Segera aku lari keatas, ke ruang kemudi kapal. Disinipun terlihat sebagian perwira berebut kemudi, beberapa yang lain berebut peta, dan lainnya lagi berebut teopong. Suasana sangat gaduh. Matik aku! Maka aku berteriak keras2 :”Mana Kapten kapal?”. Beberapa perwira menoleh, tapi tak seorangpun menjawab. Maka aku segera berlari menuju ruang tidur sang Kapten. Kudorong, kutendang siapapun yang menghalangi jalanku. Didepan pintu yang setengah terbuka, kulihat sang Kapten sedang me-matut2 diri, berkaca didepan cermin……..

 

 

Alas Tuwo, 6 Oktober 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun