Mohon tunggu...
Khoirudin
Khoirudin Mohon Tunggu... Penjahit - Orang biasa

Hanya orang biasa, tidak lebih dan tidak kurang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penolakan Migrasi Siaran TV Lebih pada Masalah Cuan

2 Desember 2022   19:18 Diperbarui: 2 Desember 2022   19:21 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Salah satu pendiri partai, sekaligus salah satu orang terkaya di Indonesia, bos banyak saluran televisi juga, menuliskan dalam tweetnya bahwa migrasi siaran TV dari analog ke TV digital yang diberlakukan di daerah Ibu kota dan sekitarnya membawa masalah bagi masyarakat. Konon, kata doi, gara-gara kebijakan tersebut, 60 persen masyarakat miskin dirugikan karena tidak bisa menonton siaran televisi.

Saya membaca informasi tersebut dari internet. Bukan dari televisi. Bahkan saya lupa, kapan terakhir kali saya menonton televisi. Saya lebih suka rebahan sambil scroll-scroll tidak jelas di dunia maya. Televisi di rumah memang tetap menyala setiap hari, tapi hanya sekedar agar rumah tidak sepi. Mirip fungsi radio pada jaman dahulu. Saya tidak sendiri, istri dan anak-anak saya juga sama. Mereka lebih sambat jika wifi mati dari pada ketika televisi mati.

Saya mencoba mengingat obrolan-obrolan dengan lingkungan sekitar. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Di dunia maya, saya belum pernah membaca satupun status dari teman-teman di medsos (yang orangnya saya kenal juga di dunia nyata) terkait dengan migrasi siaran televisi. Satu-satunya status medsos yang agak nyambung adalah promosi jualan set up box oleh teman saya. Belum ada satupun teman saya di dunia maya yang mengeluh tentang migrasi siaran televisi.

Teman-teman saya di dunia nyata juga sama. Dari berbagai circle pertemanan yang saya ikuti, hanya satu teman yang membahas tentang migrasi siaran televisi tersebut. Itupun hanya bertanya tentang bedanya siaran televisi analog dengan televisi digital. Saya ditanya karena dianggap lebih melek di bidang teknologi. Tentu saja saya menjawabnya dengan panjang lebar dan luas. Sebenarnya hanya untuk menutupi ketidak tahuan saya. Hehe

Beberapa hari yang lalu, di reel FB saya muncul video seseorang yang membanting televisinya. Di layar ada penjelasan, lebih baik televisinya dibanting dari pada dinyalakan munculnya semut karena siaran analog dimatikan. Terlepas dari motif asli si pembuat video tapi background yang berupa mobil bagus bisa menggambarkan kondisi ekonominya. Televisi yang dibanting juga merupakan televisi tabung model lama. Yang di toko-toko sudah tidak ada. Kalaupun hanya untuk konten, dia mungkin beli di tukang rosok seharga 50 ribu sampai 100 ribu juga bisa. Atau bisa juga televisi lamanya yang sudah disimpan di gudang bertahun-tahun tidak dipakai.

Komentar dari netizen di video tersebut juga seragam. Yakni mengecam si pembuat video.

Saya mencoba memancing beberapa teman di dunia nyata terkait kebijakan migrasi siaran televisi. Secara naratif jawabannya bervariasi. Akan tetapi esensinya hampir sama. Rata-rata mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut. Mereka merasa senang karena gambarnya lebih jernih. Kalaupun mereka tidak memperoleh sinyal siaran digital, ada yang berkata bahwa itu hal yang baik, biar tidak usah menonton televisi sekalian.

Topik diskusi lain hasil pancingan saya, lebih kepada merk set up box yang bagus serta berapa saluran televisi yang bisa ditangkap. Beberapa hari yang lalu, kakak ipar saya datang ke rumah untuk meminjam set up box yang saya beli. Tujuannya untuk mengetes ketertangkapan sinyal televisi di rumahnya. Kalau cocok ia mau membeli set up box dengan merk yang sama, kalau tidak cocok mau mencari merk lain. Kakak ipar saya yang lain bercerita kalau sejak Jabodetabek melakukan migrasi secara resmi, sinyal televisi digital di rumahnya berkurang. Padahal sebelumnya cukup banyak. Akan tetapi, kedua kakak ipar saya tidak menyampaikan keluhan terkait kebijakan pemerintah di sini.

Sebagai informasi, domisili saya ada di sebuah kota kecil di jawa tengah. Ratusan kilometer dari ibu kota jakarta. Tidak ada keluhan di sini. Bahkan tidak terlalu peduli. Tentunya yang di ibu kota lebih kuat dari kami.

Satu bulan yang lalu, saya ikut pelatihan di Bandung. Pesertanya dari berbagai daerah di Indonesia. Saya mencoba memancing obrolan tentang migrasi siaran televisi. Rata-rata mereka nampak kurang tertarik membahasnya. Mungkin karena televisi di rumah mereka sudah digital. Atau mungkin mereka menganggap harga set up box tidak mahal. Atau yang paling penting, selama youtube masih aktif, reel facebook masih bisa diputar, tiktok masih jalan, dan media-media di genggaman mereka masih bisa diakses. Apa pentingnya televisi bagi mereka. Hanya sekedar pelengkap agar rumah tidak terlalu sepi.

Mungkin dari ratusan juta penduduk indonesia hanya ada sedikit orang yang merasa gerah dengan migrasi siaran televisi. Yang pertama adalah bos televisi yang cuannya terganggu dan yang kedua adalah oposisi pemerintah yang selalu menyalahkan apapun kebijakan pemerintah. Selebihnya cuek saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun