Sumber Gambar:Â kabarkampus.com
Sam Trader, No. 45
Namaku... ah kalian tak perlu tahu. Aku bukan siapa-siapa. Hanya sebutir debu yang ditakdirkan untuk menjadi wanita biasa, dan dilahirkan di sepotong tanah Jawa yang bernama kota Blitar, 32 tahun yang lalu. Besok, debu itu akan tertiup angin dan kembali arungi semesta raya.
Butiran air wudhu membasuh raga, tapi tidak kenangan jiwa. Walau aku hanya wanita biasa, bukan siapa-siapa, tapi hidupku tetap pernah punya warna.
Aku pernah rasakan disayang ayah bunda. Pernah juga disentuh cinta seorang jejaka. Kepada dialah aku sandarkan hati dan dia memeluknya sepenuh makna. Kemudian kamipun membangun mimpi bersama untuk menggapai bintang. Di Surabaya, kami bahu-membahu mewujudkan mimpi itu. Tapi seorang biduanita telah membuatnya terlena, dan aku kembali pulang ke desa menjadi janda.
Aku tulis catatan ini bukan untuk mengeluh atau mengaduh. Karena sebagai orang Jawa, Emak sudah ajarkan tentang 'Trimo ing pandum dan Sumeleh', sejak kecil. Tugas kami hanyalah berusaha. Pepesten atau takdir itu urusan Tuhan, Gusti Kang Murbeng Dumadi. Hingga apapun takdirNYA, aku berusaha menerimanya, nrimo ing pandum, yang didasari sikap ikhlas menerima takdir, sumeleh.
Begitu juga ketika tuntutan hidup menggiringku terlempar ke Timur Tengah, negeri asal para orang suci, aku sumeleh saja. Bersama ribuan kaum paria lainnya, kami seberangi samudera untuk menyongsong rejeki . Bagai rombogan burung belibis, kami kepakkan sayap menentang angin menyongsong surya pagi demi makanan dan kehidupan.
Negeri tandus yang makmur, berbanding terbalik dengan kampungku yang subur tapi miskin. Karena tanah dan air di desaku sudah dimiliki orang berdompet tebal dari Jakarta sana. Ah.. sudahlah, aku tak ingin bercerita lagi tentang negeri kita. Waktu hidupku kurang dari sehari, aku tidak suka menghabiskannya tuk membahas apa yang aku tak pahami.
Bekerja pada majikan berbeda bangsa memang rumit. Berbekal ilmu di tempat pelatihan dan pengalamanku saat mengurus rumah sendiri, aku berusaha melakukan tugasku sebaik mungkin. Tapi, sejak awal, cerca dan makian yang kerap aku nikmati untuk sarapan pagi dan makan siangku. Soal gaji, sudah tiga bulan aku tidak menerima uang seperti yang dijanjikan sebelum berangkat dulu. Kata temanku sih, aku sudah dijual ke majikanku seharga enam puluh juta. Itu ongkos yang harus dibayar mereka bila ingin memperoleh seorang pembantu dari Indonesia.
Awalnya aku berusaha untuk sumeleh, ikhlas pada lakon hidup yang sedang aku lalui ini.. Tapi pertahananku akhirnya runtuh malam itu, saat kurasa sebuah tubuh tambun menindihku. Duh Emak, betapa tak mampu aku kendalikan diri dihinakan seperti ini. Menjadi pemuas syahwat majikan jalang. Lalu entah dari mana aku memiliki kekuatan untuk meraih gunting dan menghujamkan ke urat leher lelaki durjana ini. Malampun berubah merah berdarah.
Aku tulis catatan ini, bukan untuk mengeluh atau mengaduh. Tapi untuk mengatakan, aku tidak sesali perbuatanku. Aku memang wanita biasa, tapi bukan tuna susila yang bisa dihina. Emak, Bapak aku pamit, besok aku akan menjemput takdir, menyelesaikan pepestenku. Besok, saat algojo mengayunkan pedangnya, percayalah anakmu sedang menuju pelukan bidadara surga.
(Kisah ini hanya fiktif belaka, sebagai bentuk empathi pada Kartini masa kini yang berjuang demi keluarga di luar negeri)
Surabaya, 20 April 2015
Untuk melihat karya peserta lainya silakan menuju KESINI
Dan juga silakan bergabung DISINI
#Salam Rumpies
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H