Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tetaplah Produktif, Dimanapun Kita Bekerja?!

25 September 2015   15:26 Diperbarui: 5 Desember 2015   22:30 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Dharmodumadi

Banyak perusahaan di Indonesia, merasa cukup bangga kalo sudah membayar karyawannya di atas UMR atawa UMK. Tentu, para pemilik perusahaan tidak sebodoh karyawannya. Dengan telah membayar karyawannya di atas upah minimun yang harus dibayarkan, para pemiliki perusahaannya pun lalu bisa seenaknya saja mengatur jam kerja, membuat aturan, yang katanya untuk mendisiplinkan, lantas mengambil keputusan yang bisa menambah derita karyawannya. Bahkan, peraturan ketenagakerjaan mampu diplintir-plintir semau udelnya sendiri, agar bisa mengurangi biaya tenaga kerja. Jadi, seolah-olah upah diatas minimum atawa UMK ini, merupakan legalisasi atas pemerasan waktu, pikiran dan tenaga karyawannya.

Seorang pimpinan atau pemilik perusahaan bisa saja mengatakan, bahwa ia sudah mengeluarkan banyak dana untuk membayar karyawannya, jadi semua karyawan mau-tidak-mau harus mengerti, bahwa begitu terhormat dan berharganya para pemilik atau pimpinan perusahaan itu. Sehingga, tidak boleh ada karyawan yang melanggar perintah pimpinan/pemilik atau aturan perusahaan. Sementara jika pimpinan atau pemilik perusahaan melanggar aturan, atau menyimpang dari keputusannya sendiri, itu berarti bahwa pimpinan atau pemilik perusahaan sedang menguji peraturan atau keputusannya itu. Mereka selalu mengatakan, bahwa tidak akan pernah seorang pimpinan apalagi pemilik perusahaan yang salah, dalam mengambil keputusan. Kalo saja ada pimpinan atawa pemilik perusahaan terlanjur berbuat salah, maka dikembalikan pada prinsip awal, bahwa pimpinan atawa pemilik perusahaan tidak akan pernah berbuat salah ?!.

Kondisi dunia usaha diatas, merupakan salah satu sisi kehidupan perusahaan di Indonesia, seperti dijelaskan oleh Schwartz, 2011, bahwa seorang pemilik perusahaan yang baik harus mengubah paradigmanya, dari memeras pekerja untuk mendapatkan keuntungan, menjadi lebih memperhatikan (dan berupaya memenuhi) empat kebutuhan dasar dari pekerjanya, yakni kebutuhan fisik, emosional, mental, dan spiritual. Hanya dengan begitu pekerja bisa merasa bersemangat dan terinspirasi untuk memberikan kekuatan terbaik mereka di dalam bekerja.

Selanjutnya, Tony Schwartz (2011), kontributor resmi Harvard Business Review, menyatakan bahwa hanya 20 persen dari seluruh pekerja di dunia yang menyatakan, bahwa mereka bekerja di perusahaan yang baik. Logikanya berarti ada  80 persen lainnya merasa, bahwa mereka bekerja di perusahaan yang tidak baik. Logikanya juga, hanya 20 persen orang yang berhasil mendirikan perusahaan yang baik. Sementara 80 persen lainnya gagal.

Sementara itu, perusahaan yang baik adalah perusahaan yang terdiri dari orang-orang yang bekerja secara produktif, mampu memberikan kepuasan optimal pada pelanggan, yang pada akhirnya, menjadi nomor satu di bidang usahanya. Jadi, jika kita pahami lebih dalam, maka orang-orang yang berada di sentra-sentra industri atawa orang-orang perkotaan, menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk bekerja, entah di perusahaan orang lain, atau di perusahaan yang ia dirikan sendiri. Jika perusahaan itu tidak baik, berarti betapa tidak bahagianya hidup mereka ?!.

Pada pengamatan berikutnya, diketahui bahwa kunci dari banyaknya perusahaan gagal alias menderita ini, adalah pada karakter kepemimpinan yang ada di dalam berbagai perusahaan tersebut. Jadi bukan semata hubungan pimpinan dengan pekerja, seperti manajer, direktur, kepala bagian, dan sebagainya, tetapi lebih pada kharakter kepemimpinan pemilik dari perusahan tersebut.

Berpijak dari pemikiran Tony Schwartz tersebut, kita akan sulit menjadi manusia, bahkan cenderung menjadi robot atawa mesin, di perusahaan yang tidak lagi menganggap kita sebagai manusia ?!. Pada saat, karyawan hanya dianggap sebagai angka-angka untuk mengalikan cost perusahaan, maka karyawan tidak mampu mengalikan dirinya sendiri dengan kompetensi dan profesionalitas yang ia miliki.

Perusahaan yang baik, tentu akan membayar pekerja/karyawannya secara layak. Namun, di banyak perusahaan di Indonesia, seorang manajer dan direktur selalu memperoleh gaji jauh lebih tinggi daripada pekerja biasa. Alasannya bisa beragam. Jika kita bekerja di perusahaan yang belum memberi kita imbalan finansial maupun mental yang layak, kita bisa menambah pengetahuan (knoledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude) melalui jalur formal/informal. Selesai mengembangkan diri, kita bisa memilih perusahaan lain yang sesuai dengan komitmen kita, untuk lebih produktif dan profesional.

Bekerja di perusahaan yang baik, tentu akan memberi kita rasa memiliki terhadap perusahaan (sense of belonging), karena semua keberhasilan dirasakan oleh semua karyawan atau pekerjanya. Sehingga, keuntungan perusahaan tidak dilahap habis oleh pemilik atau pimpinan-pimpinannya. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, hanya gara-gara kita tidak memperoleh perhatian dan perlakuan sebagai asset perusahaan, maka untuk sementara, tetaplah bekerja di perusahaan itu dengan produktif sambil mengembangkan diri, hingga kita menemukan pekerjaan baru yang lebih baik ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 25 September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun