Oleh. Dharmodumadi
Ketika hidup sudah tidak lagi berharga alias bermakna, atawa harga diri seseorang sudah tidak menjadi fokus lagi pada dirinya, maka perbuatan melacurkan diri adalah satu-satunya jalan keluar, selain bunuh diri. Orang berbuat lacur bukan karena persoalan ekonomi semata, tapi lebih dari itu. Seseorang berbuat lacur karena dirinya lebih rendah dari uang, atau apapun yang dianggapnya lebih berharga dari dirinya sendiri. Menurut pengertian saya, para pelacur bukan hanya mereka yang berjual-beli atawa bertransaksi libido alias seksualitas saja, tapi lebih dari itu. Mereka-mereka inilah yang biasa saya sebut sebagai para pelacur kehidupan ?! he .. he .. he ..
Sebagai contoh saja, seorang wanita yang melarikan diri dari suami dan anak-anaknya. Dengan bekal wajah cukup memikat, alias tidak kampungan, meskipun pikiran dan perilakunya masih otentik orang kampung. Ia pun, kemudian melacur di kota sambil bekerja di perusahaan, dan merusak moral orang-orang yang ada dalam perusahan itu. Perbuatan ini secara esensial sama halnya dengan seorang anggota legislatif yang mencoba melacurkan diri kepada pengusaha yang membiayainya hingga memperoleh kursi wakil rakyat. Perbuatan lacur ini juga bisa dilakukan oleh seorang karyawan yang ingin kembali bekerja di perusahaan yang sama, setelah mundur dan menganggap perusahaanya buruk dalam mengelola karyawannya ?! Xixixixix ...
Secara filosofis, istilah pelacur sebenarnya bisa memiliki arti yang luas, saya memaknai pelacur adalah mereka yang memiliki sifat- sifat seperti pelacur, mereka yang memakai filosofi hidup seperti pelacur, dan mereka yang bekerja sebagai pelacur. Oleh karena itu, saya sedikit dapat mengenali filosofi seorang pelacur begini : Pertama, para pelacur bekerja tidak singkron antara hati dan pikirannya, mereka bekerja untuk mencari uang dengan cara merendahkan harga dirinya dan citra dirinya, serendah-rendahnya. Perilakunya tidak pernah selaras antara tujuan pekerjaan dengan idealisme yang ia miliki. Kedua, para pelacur adalah para penjual idealisme, yang mempertukarkan kebenaran dihatinya dengan uang atawa fasilitas kehidupan lainnya.
Dulu sewaktu kuliah, saya mengenal istilah pelacur intelektual, pelacur politik dan pelacur beneran. Pelacur intelektual adalah para mahasiswa yang melacurkan diri karena pengetahuan dan keterampilannya dalam membuat karya-karya ilmiah. Biasanya ia memperoleh uang dari membuat makalah teman-temannya, menyediakan contekan, bahkan membocorkan soal-soal UTS dan UAS. Pelacur intelektual ini bekerja atas dasar kebutuhan jangka pendek dan begitu temporer sifatnya. Jika sifat ini dipelihara, maka akan meningkat derajatnya menjadi pelacur politik ?!. Wkwkwkwk .....
Pelacur politik adalah seseorang yang berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain, yang ada kaitannya dengan politik. Seorang pelacur politik mendapatkan uang dari upayanya memperoleh informasi strategis dari pihak lawan politik yang membayarnya. Para pelacur politik ini juga bekerja demi fasilitas dan kepopuleran yang dijanjikan kepadanya. Sementara, pelacur beneran adalah mereka yang memang menggeluti profesi ini sebagai kesenangan, sekaligus uang.
Dari kondisi diatas, saya dapat memperluas makna ‘pelacur kehidupan’, yakni mereka yang mau dan mampu menggadaikan idealisme kemanusiaan (humanity) dan kebenaran, demi uang, nama baik, kepopuleran dan fasilitas lainnya. Sebagai contoh bahwa pelacur-pelacur kehidupan itu, bisa jadi :
- Para pengusaha yang hanya berorientasi pada keuntungan finansial semata, tanpa mempertimbangakan kesejahteraan karyawannya, bahkan mempidanakan buruhnya karena melakukan aksi mogok kerja menuntut keadilan.
- Para pedagang yang memperdagangkan gelar dan ijazah di Perguruan Tinggi, atau mereka yang menjual pengetahuan mereka untuk keuntungan bisnis, atawa komersialisasi pendidikan.
- Para Koruptor dan politikus busuk yang menggunakan dana Bansos untuk kepenting suap-menyuap agar kepentingan politiknya tercapai.
- Para dokter yang menjual jasa medis mereka dengan tidak manusiawi, dimana para pasien yang seharusnya ditolong dan diobati malah di peras uangnya dengan biaya yang mahal dan tidak terjangkau.
- Para karyawan atawa atasan, yang bekerja tanpa peduli dengan orang lain, teman sekerjanya, alias tanpa solidaritas, egois, menjilat, bodoh dan hanya mementingkan keselamatan dirinya sendiri.
- Para wanita yang menjual idealisme cintanya dengan dalih mencari ‘imam’ dalam hidupnya, tapi sebenarnya hanya untuk menutupi kesepiannya dan mencari kesenangan belaka.
- Satu lagi aja, karyawan yang tidak memiliki harga diri, yang ingin kembali bekerja diperusahaan yang sama, setelah mengundurkan diri dengan alasan bahwa perusahaan tersebut terlampau buruk dalam mengelola kesejahteraan karyawannya.
- Sepertinya, masih banyak lagi contohnya.Â
Akhirnya, saya bisa sedikit paham bahwa teman-teman yang tidak memiliki kedamaian bathin, selalu galau dan dirundung kesepian karena persoalan masa lalunya yang kelam, tidak menutup kemungkinan sedang menjadi pelacur-pelacur kehidupan saat ini !!! Pesan saya, gimana kalo kita sama-sama menemukan siapa diri kita, dan potensi apa yang bisa kita miliki, guna membantu meringankan kesulitan orang di sekitar kita ?!. Jangan lupa, tetaplah bersyukur dan ikhlas ?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 26 November 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H