Oleh. Purwalodra
"Buuud, Budiiii !!! titenono kowe ... Budek !" aku berteriak-teriak dari atas tanggul kali 'dung-dung'.
"Ha ... ha ... ha ... Hi ... hi ... hi .... ?" Budi kegirangan.
"Hei ... Budeeek ! nggak punya otak koweee, ya !"
"Gitu aja kok takut ?"
"Itu ular beneran taaauuuu !
"Siapa bilang ular bohongan ? Ha ... ha ... ha.... Hi ... hi ... hi .... ?" Budi terus menertawaiku. Aku sudah marah besar, sejak dia tinggalkan aku di tengah sawah.
"Cah ... edaaaaaan !" Aku terus mengomel.
Budi, yang biasa kupanggil Budek, telah memasukkan ular sawah ke dalam karung, yang sudah penuh berisi rumput. Bukan baru sekali ini, Budi berbuat seperti itu. Beberapa waktu lalu, ular lareangon dan anak ular air, sengaja dimasukkan dalam Karung-goniku. Kadang-kadang ular itu terbawa sampai ke kandang kelinci. Bahkan, aku baru tahu ada ular di situ, ketika rumput-rumput itu habis dimakan kelinci-kelinciku.
Budi sangat berani dengan yang mana daripada 'ular !'. Ular apa saja. Yang ada di sawah bahkan di kebun tebu. Ilmunya menangkap ular dan kebal terhadap gigitan ular lantaran mbah Slamet, seorang pawang ular di kampungku. Sebenarnya aku sama-sama berguru dengan mbah Slamet. Tapi aku paling takut dan jijik dengan yang namanya ular. Ular apapun itu.
Ketika ujian kenaikan tingkat, mbah Slamet memerintahkan aku dan Budi untuk mencari ular sendok atau ular weling. Mbah Slamet menginginkan aku dan Budi membawa ke rumahnya dalam keadaan hidup. Hampir seminggu aku dan Budi berburu ular. Urusan tangkap menangkap dan bongkar-membongkar sarang ular itu tugas Budi. Sementara, aku hanya bertugas membawakan karung, tempat ular-ular itu disimpan.