Oleh. Dharmadumadi
Beberapa hari ini, antrian tiket Kereta Api untuk mudik lebaran begitu panjang. Bahkan pembelian secara ‘online,’ tak menyisakan satu kursipun untuk 90 hari ke depan. Kondisi ini, mungkin, merupakan gambaran begitu antusiasnya orang-orang kota untuk bisa mudik ke kampung halaman pada saat lebaran tiba. Bagi saya dan mungkin banyak lagi orang, yang mempunyai persepsi mirip saya, mudik adalah kegiatan yang sakral yang berlabel ‘mesti’, ‘kudu’ atawa ‘harus’ dilakukan. Sebagai orang kampung, mudik lebaran serasa seperti terlahir kembali sebagai manusia. Banyak makna yang bisa terungkap dari aktivitas mudik lebaran tersebut. Meski, sebagian orang tak mudah untuk melakukannya.
Pertanyaannya adalah, apakah aktivitas mudik itu dilakukan dengan kesadaran, atau sebuah keterpaksaan karena tradisinya alias sistemnya memang begitu ? Jika aktivitas mudik tersebut bisa kita maknai, tapi mengapa pada saat di kota, kita kesulitan memaknai setiap aktivitas yang kita lakukan ?. Bekerja menjadi sebuah rutinitas yang kering dan menjenuhkan !.
Kehidupan kota yang kita jalani setiap hari, dengan bebagai modernitas gaya hidup, ternyata tidak mampu menghadirkan sebuah makna hidup. Kemewahan sampai dengan keserba-praktisan menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, tapi justru keadaan itulah yang menjadi begitu membosankan, dan hanya melahirkan keterasingan-keterasingan baru.
Semua kondisi diatas, terjadi karena hidup kita sehari-hari hanya dibatasi oleh berbagai motif dan kepentingan, yang memaksa kita untuk tidak jujur pada diri kita sendiri. Kepentingan-kepentingan yang bermuara kepada uang, yang tidak jarang satu sama lain, saling bertabrakan. Sehingga, pikiran kita bergerak dari sudut kepentingan satu ke sudut kepentingan lainnya. Kondisi seperti ini, kemudian melahirkan krisis makna, dimana kehidupan kita tidak lebih dan tidak kurang, seperti robot-robot yang digerakkan dari sebuah remot-control. Kita berperilaku berdasarkan motif-motif yang kita yakini benar. Perilaku kita kemudian dikontrol oleh uang. Hanya uanglah yang mampu menggerakkan persendian lehidupan kita sebagai manusia. Inilah yang saya sebut sebagai kapitalisasi kehidupan.Jika sudah seperti ini, kita tidak lagi mudah menemukan kesederhanaan, kebersahajaan, apalagi keramahan bathin kita sebagai manusia.
Penyakit krisis makna pada diri kita, yang menjangkiti berbagai sudut kehidupan kita, terjadi karena kita lupa akan makna dari hal-hal yang kita lakukan. Yang kita ingat hanyalah sistem yang menopang makna tersebut. Ketika makna hilang, dan yang tersisa tinggal sistem, maka kita tak lagi mengerti, mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan. Kita bagaikan mayat-mayat hidup yang melakukan aktivitas dengan rutin, mekanis, serta tanpa kesadaran apapun.
Ketika kita kehilangan makna, kita pun hidup dijajah oleh sistem. Kita bekerja, karena kita terpaksa bekerja. Kita mengikuti aturan, karena kita terpaksa mengikuti aturan. Hidup kita dijajah oleh sistem, yang sebenarnya kita bangun sendiri. Jika sudah seperti ini, maka hidup akan terasa kering dan mengerikan. Kita akan menjadi mahluk pemangsa sesama, bahkan segalanya !!!
Sistem adalah buatan manusia. Artinya, kita punya kekuatan untuk mengubahnya, asal kita sungguh mau melakukannya. Namun, kemauan dan kemampuan itu hanya bisa ada, jika kita sadar, bahwa kita mampu memaknai setiap aktivitas kita, dan tentu tidak dijajah oleh sistem-sistem kehidupan, yang sebenarnya kita buat sendiri itu. Kesadaran inilah yang mesti kita bangun, agar kita mampu melepas belenggu penjajahan ‘sistem’ ?!
Coba kita renungkan kembali, mengapa kita pergi ke kantor setiap pagi? Atau mengapa kita membuka dagangan kita setiap pagi? Mengapa kita rela terjebak macet, dan tetap pergi bekerja? Mengapa kita pergi ke sekolah, atau ke kampus?
Mayoritas orang bekerja adalah untuk mendapat uang atawa nafkah, sehingga bisa hidup, dan menghidupi keluarga kita. Sehingga, bekerja tidak memiliki makna pada dirinya sendiri, melainkan di luarnya, yakni uang dan keluarga. Mungkin, juga ada yang berangkat ke kantor, karena sistemnya mengatakan begitu. Sehingga, kita memang harus bekerja, karena sistemnya begitu. Inilah yang terjadi dan kita alami setiap hari ?!
Ternyata, sebagai bagian dari orang-orang modern, kita melakukan aktivitas hidup bukan karena aktivitas itu bermakna, tetapi karena dipaksa oleh sistem yang ada di luarnya, karena kewajiban, atau karena “terpaksa” bertahan hidup. Kata “makna” sendiri pun semakin asing di pikiran orang-orang modern yang sudah terpesona dengan yang praktis, instan, aplikatif, dan teknis ?!