Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ingatan yang Dilumuri Kebohongan?!

18 November 2015   09:45 Diperbarui: 18 November 2015   10:41 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Dalam pergaulan sehari-hari, kita seringkali menemukan orang yang berperilaku tidak sesuai dengan apa yang dia ucapkan. Artinya, apa yang dia ucapkan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Orang seperti ini akan selalu menemukan dirinya berada dalam kesulitan. Pada saat ia akan mengemukakan sebuah fakta kebenaran, orang yang terbiasa berkata-kata bohong ini, akan sulit menemukan dirinya berada pada posisi yang benar. Dan, orang seperti ini, sudah pasti, akan mudah dibohongi oleh orang lain, bahkan oleh pikirannya sendiri. Dia sendiri pun akan seringkali lupa bahwa dirinya sudah berkata-kata bohong atau benar. Ia tidak mampu lagi memilah-memilih mana bicara bohong dan mana yang bukan. Yang ada dalam ingatannya adalah kebohongan dan kebohongan ?!.

Terkait dengan ingatan seseorang ini, Michel de Montaigne pernah mengatakan, “ingatan memberi tahu kepada kita bukan apa yang kita pilih, tetapi apa yang menyenangkan kita.” Sementara, kelupaan, sebagaimana ditulis oleh Plutarch, mengubah setiap peristiwa menjadi bukan-peristiwa (non-occurrence). Kelupaan seseorang akan melenyapkan suatu peristiwa. Pandangan Plutarch dan Montaigne tersebut masih mendasarkan dirinya pada pengandaian, bahwa ingatan adalah suatu organ yang berfungsi untuk melihat ke masa lalu, sama seperti mata adalah organ untuk melihat ke masa sekarang. Dalam arti ini, ingatan adalah suatu sumber pengetahuan, semacam mesin waktu yang memungkinkan kita bisa melihat kembali ke masa lalu kita.

Akan tetapi, ingatan bukanlah sebuah sumber pengetahuan yang memadai. Menjadikan ingatan sebagai sumber pengetahuan adalah suatu tindakan yang penuh dengan resiko. Ingatan selalu muncul di masa sekarang, dan keberadaannya selalu dipenuhi dengan ambiguitas. Ingatan tidaklah pernah sungguh akurat. Ingatan selalu bercampur dengan imajinasi dan spekulasi yang seringkali berbeda dengan fakta.

Akan tetapi, walaupun ingatan adalah suatu bentuk sumber pengetahuan yang amat meragukan, peran ingatan di dalam pembentukan intelektualitas maupun identitas seseorang amatlah besar. Intelektualitas seseorang sangatlah terkait dengan ingatan. Ketidakmampuan seseorang untuk mengakses informasi terkait dengan pengalaman masa lalunya dapat menghalangi perkembangan mentalnya. Hal yang sama kurang lebih berlaku di dalam proses pembentukan identitas. Ketika seseorang kehilangan ingatannya, maka ia sekaligus kehilangan jati dirinya. Apa yang membuat orang tetap sama seumur hidupnya adalah kumpulan ingatan yang ia bawa sepanjang hidupnya. Ketika ingatan ini hilang, ia bisa kehilangan individualitasnya, dan menjadi orang yang sama sekali berbeda.

Di sisi lain, orang yang memiliki terlalu banyak beban ingatan juga tidaklah menguntungkan. Di dalam cerita Funes and the Memorious, Jorge Luis Borges menggambarkan kegelisahan seseorang yang tidak dapat melupakan apapun. Orang tersebut tersiksa oleh beban ingatannya yang sangat akurat dan tajam. Sholem Asch, salah seorang korban holocaust di Jerman, pernah menulis, “bukan hanya kekuatan untuk mengingat, tetapi justru kebalikannya, eksistensi kita memerlukan juga kemampuan untuk melupakan.” Kebenaran dari pernyataan ini pada akhirnya diakui juga oleh para korban holocaust lainnya. Kemampuan untuk melupakan merupakan kemampuan yang sangat penting demi terciptanya proses penyembuhan dari trauma sosial, yang diakibatkan oleh terjadinya peristiwa negatif traumatis di level sosial.

Mungkin, kita perlu untuk keluar dari ilusi yang mencengkram hidup kita dan belajar pula untuk melupakan. Kita juga perlu keluar dari kebohongan dan penipuan yang kita peluk erat sebelumnya. Kita perlu untuk melihat dan memahami kenyataan sebagaimana adanya. Namun demikian, sebenarnya apa yang sesungguhnya nyata itu ? Apa yang dimaksud dengan kenyataan sebagaimana adanya, tanpa bumbu kemelekatan yang dibuat oleh pikiran dan perasaan manusia?

Kenyataan apa adanya berarti kenyataan sebelum kita memikirkannya dalam konsep dan bahasa. Di dalam kenyataan ini, yang ada hanya satu hal, yakni kekosongan yang besar. Kekosongan yang besar ini adalah keadaan asali dari seluruh alam semesta. Ia juga menjadi bagian tersebar dari seluruh alam semesta. Segalanya lahir dari kekosongan besar, dan kemudian berakhir pada kekosongan semacam itu pula. Pemahaman semacam ini merupakan buah dari penelitian astrofisika dan fisika modern yang menemukan, bahwa unsur terkecil materi adalah kekosongan.

Bagaimana cara melepaskan semua kemelekatan, pikiran dan perasaan? Yang jelas, kita perlu melepaskan semua bentuk kemelekatan pada uang dan nama baik. Setelah itu, kita perlu melepaskan semua kelekatannya pada ide, identitas, harapan, ketakutan dan segala bentuk perasaan maupun pikiran yang muncul di kepalanya. Kita lalu sampai pada kekosongan itu sendiri, yakni kenyataan sebagaimana adanya.

Pada titik ini, kita menemukan kejernihan dan kedamaian. Namun, ini belum cukup. Pada titik ini, kita justru seringkali melekat pada kekosongan itu sendiri, yakni melekat pada ide tentang kekosongan yang juga bisa menggiringnya pada penderitaan dan kehampaan batin. Maka dari itu, kita harus bergerak maju dengan melepaskan kekosongan itu sendiri, yakni melepaskan ide tentang kekosongan.

Ketika kita melepaskan kelekatannya pada kekosongan, kita lalu kembali ke dunia. Kita kembali hidup dan bergerak di dalam masyarakat. Namun, kita hidup dalam kebebasan yang sejati, yakni kebebasan dari kemelekatan pada apapun. Kita bisa berpikir, merasa, mencari uang, dan memperoleh nama baik, namun semua itu dilihatnya hanya sebagai alat untuk membantu meluruskan jalan hidup ini, dan bukan tujuan dari hidup itu sendiri. Dengan begitu, sekaligus kita mampu menghapus kebohongan-kebohongan yang ada dalam ingatan kita itu ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 18 November 2015. | Oleh. Dharmodumadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun