Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Habitat Para Serigala?

14 Juli 2016   09:48 Diperbarui: 20 Juli 2016   09:33 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi (2013)

Oleh. Purwalodra

Dunia bisnis saat ini diwarnai oleh begitu ketatnya persaingan. Sementara, perilaku bisnis para pengusaha, mulai dari yang besar sampai yang baru bisa merangkak, sudah menjadi serigala bagi yang lainnya. Etika bisnis terfigura dengan indahnya di dinding-dinding kantor. Visi-misi perusahaan terkemas begitu cantik di arsip-arsip lemari kaca. Namun, sifat buas para pebisnis tak bisa ditutup-tutupi dengan pakaian-pakaian yang mewah, mobil mewah, rumah mewah, kantor mewah dan identitas diri yang juga mewah !?

Sesekali memang para pengusaha itu berderma kepada orang-orang yang tak punya apa-apa. Bahkan, melakukan ‘open house’ untuk menerima orang-orang yang butuh sembako, pinjaman jangka pendek, pakaian bekas dan lainnya. Tapi setelah itu mereka menjadi serigala kembali, untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Kondisi pengusaha yang rakus ini, berimbas kepada karyawa/buruhnya, orang-orang disekitarnya, lantas beresonansi kepada masyarakat lainnya.

Di dalam masyarakat kita, dimana simbol-simbol kekayaan, harta-benda, prestise, bahkan nama baik masih menjadi prioritas utama sebuah usaha, maka Homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya, begitu kata diktum Latin klasik tentang keadaan alamiah manusia yang saling berperang satu sama lain, menjadi warna kehidupan sehari-hari. Pada titik ini, manusia dijadikan alat untuk menumpuk kekayaan, kekuasaan dan untuk melanggengkan status quo, bagi kepentingan manusia lainnya.

Yang ada di otak para pengusaha hanya satu, yakni menumpuk uang hasil keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika perlu, dengan cara curang dan biadab, untuk memperoleh uang lebih banyak lagi. Hidup manusia yang luas dan kaya dipersempit hanya semata-mata unsur ekonominya, yakni pencarian dan penumpukan harta tanpa batas. Segala nilai lain, yang membuat hidup manusia mendalam, kaya dan bermakna, dianggap tiada.

Aturan moral, mohon maaf, Agama juga menjadi pelestari kebusukan ini. Nilai-nilai luhur agama dipelintir untuk membenarkan kerakusan dan pemenuhan kepentingan dangkal semata. Agama tidak lagi menjadi pencerah, tetapi justru menenggelamkan masyarakat ke dalam kemunafikan akut. Tarif kiayi, ulama, bahkan ustadz, semakin ia terkenal, semakin mahal. Dalam masyarakat reliji yang ini, kita tak mampu menghindari korupsi, penipuan, penindasan, dan bahkan kerakusan yang tanpa batas. Yang lebih nyata lagi, adalah mudik bareng-bareng tanpa memahami essensinya, dan berbangga-banggaan di sosmed dengan foto-foto plesiran ?!

Selanjutnya, tujuan utama setiap perusahaan adalah untuk memperoleh laba. Laba sering di proyeksikan sebagai keberhasilan dari kinerja suatu perusahaan, sehingga kinerja perusahaan dinilai melalui laporan keuangan yang disajikan secara teratur setiap periode. Tujuan ini, kemudian dibungkus dengan upaya untuk mensejahterakan karyawannya, dikemas rapi dengan aktivitas sosial kemasyarakatan, dan tertata secara sistematis guna memenuhi kebutuhan konsumennya. 

Tapi, semua itu tak mampu menutupi hakekat kepentingan perusahaan itu sendiri, yakni menipu, mengeksploitasi dan mengeruk untung yang sebesar-besarnya !!! Laba, bagi perusahaan, merupakan salah satu sumber pendanaan bagi perusahaan yang ditampung dalam satu akun di neraca yang dikenal dengan istilah retained earning. Selain itu, laba juga dijadikan tujuan dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi investor dan kreditur ?!

Investor dan para kreditur sebagai pemilik modal menginginkan setiap perusahaan yang dibiayainya, dapat menghasilkan laba yang meningkat setiap tahunnya. Namun fakta yang terjadi, bahwa laba yang diperoleh perusahaan setiap periode tidak dapat dipastikan, bisa naik untuk tahun ini dan bisa turun untuk tahun berikutnya, begitu juga sebaliknya.

Ketidakpastian perolehan laba ini terjadi, karena hakekat usaha manusia hanyalah menyempurnakan ikhtiarnya, bukan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Ketika segalanya menjadi amat tidak pasti, ketakutan pun muncul. Ketakutan adalah ibu dari semua bentuk kekerasan. Ketika orang takut, mereka akan menyerang dan menghancurkan. Akal sehat dan sikap beradab lenyap digantikan keberingasan dan kebiadaban?! Akhirnya, manusia pun lalu menjadi serigala bagi sesamanya. Mungkin, hanya ada dua hal yang bisa memperbaikinya, yakni perubahan kesadaran pribadi, lantas saling mengorganisir diri untuk mendorong perubahan bersama !?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 14 Juli 2016.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun