[caption id="attachment_361349" align="aligncenter" width="466" caption="Suatu waktu di Pantai Bali/Pribadi"][/caption]
Hari itu, masih pagi; dengan Bus Malam Jakarta-Joyakarta, saya turun di tepi jalan raya yang masih sepi, kosong, dan hanya satu dua pedangang yang bergegas membawa barang jualan. Juga, dengan bergegas menemukan Tukang Ojeg kenalan, dan mengantar ke rumah. Karena besoknya adalah 40hari kepergian ayahanda, maka saya harus pulang rumah, padahal jauh hari sudah "mengikat janji" dengan banyak teman untuk bertemu di TMII pada saat Kompasianival.
Kesepian rumah saya, didepan SD dan SMP Negeri tempat ayahanda abdikan diri selama puluhan tahun, dan tak mau dipindahkan ke Dinas Pendikan, sebagai pegawai biasa, rumah tua yang seakan kehilangan kekekaran seorang laki-laki. Ya, laki-laki tua, penghuni rumah, dan menjadi inspirasi bagi anak cucunya telah pergi sekitar 40 hari yang lalu.
Dengan perlahan, membuka pintu samping; terbuka, tanda bahwa penghuni rumah sudah terjaga, dan kemudian sibuk atau tidur lagi.
Dengan perlahan, menuju kamar ayah dan ibu; lampu tidur masih hidup, samar-samar terlihat ada hamparan ranjang rapi dan kosong. Tidak ada siapa-siapa. Sprei putih, bantal, dan guling, seperti biasa, tersusun rapi, kain hangat pun, terlipat rapi.
Mata saya menyapu sekeliling kamar, semuanya tetapi biasa, seperti kemarin-kemarin. Tak terduga, di sudut yang lain, samar-samar pagi terlihat, ibuku yang sementara bersujud (Ibu dan Ayah adalah Muslim dan Muslimah yang taat), matanya sedikit terbuka, mulutnya terus berkata pelan, mungkin melihat saya yang tertegun di dekat ranjang.
Saya duduk di ranjang, sambil memasang telinga ke arah ibu yang bersujud; dengan sayub, saya mendengar nama-nama yang diucapkan ibu dalam doanya. Dirinya menyebut begitu banyak nama; nama anak, menantu, dan cucu-cucu, bahkan buyutnya. Satu persatu ia sampaikan ke hadapan Ilahi, dan memohon berkat, kesehatan untuk mereka.
Dan ketika, saya mendengar suaranya, "Gusti berikan berkah dan rezeki kepada anakku Tati (nama kecil saya di rumah) dan keluarganya di Jakarta;" tak terasa, air mata saya keluar dari mata yang ngantuk, karena semalaman tidak tidur.
Terharu, senang, gembira, sebab jika selama ini, saya hanya bisa bernyanyi kecil bahwa Didoa Ibuku, namaku disebut," kini saya mendengar dan melihat sendiri; benar, ibu selalu menyebut nama saya di/dalam doanya. Â Air mata ini terus turun; turun bukan karena kesedihan, namun suka dan cita, senang, dan gembira. Semuanya itu karena ibu masih dan tetap membawa anak-anaknya ke hadapan Ilahi.
Mungkin, kehadiran saya mengganggunya, tak lama kemudian, ibu berdiri dan memelukku, dan berkata pelan, "Ndu' sudah sampai!" Dengan lirih, saya cuma menjawab pelan, "Ngge Bu". Lampu kamar kamar dihudpkan, dan dengan jelas saya melihat wajah ibu yang cerah. Sisa-sisa kesedihan 40 hari lalu, sedikit tersisa, namun ia semakin cerah karena kehadiran saya. Teladan itu, yang selalu saya lakukan di/dalam doa-doaku, ketika menghadap hadirat-Nya, selalu membawa nama-nama mereka yang kucintai ke hadapan Sang Khalik.
Itulah Ibu. ibuku, yang memang melakukan banyak hal, yang kadang kita tak bisa membayangkan.