Mohon tunggu...
Mba Adhe Retno
Mba Adhe Retno Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

http://retnohartati.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketum PBNU: Cadar Bukan Perintah Agama, Itu Budaya Arab

10 Maret 2018   16:38 Diperbarui: 11 Maret 2018   08:24 2273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik adanya larangan mahasiswi memakai cadar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang kini sementara hangat, agaknya beranjak dari ketidaktahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi di Kampus tersebut (pelarangan' yang sama juga telah ada di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, namun tak ada yang protes). 

Dari berbagai pendapat (di Media Mainstream dan Medsos) yang ada, terlihat bahwa mereka yang kontra (dan sedikit yang mendukung larangan tersebut), tidak mengetahui proses sehingga muncul larangan tersebut; mereka hanya melihat dan menilai pada ujung peristiwa, dan memberi pendapat atau opini sendiri.    

Sebetulnya, jauh sebelum pelarangan tersebut, UIN Sunan Kalijaga sudah melakukan pendataan, konseling, pembinaan atau proses edukasi terhadap para mahasiswi bercadar. Hasil dari kegiatan tersebut, dibahas secara berjenjang, Tim Konseling, Bidang Kemahasiswaan, Bidang Akademik di Jurusan dan Fakultas, hingga pembahasan di Rektorat. 

Kesimpulan akhirnya adalah Melarang Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga memakai cadar di Lingkungan Kampus dan pada Kegiatan Akademik serta Kemahasiswaan di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Bahkan, jika pihak UIN menemukan ada mahasiswi yang bandel dan melanggar  peraturan tersebut, maka kepadanya diberikan peringatan sebanyak 7 (tujuh) kali; dan jika tetap melanggar, maka akan di keluarkan dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Jadi, keputusan untuk melarang cadar tersebut, bukan muncul tiba-tiba atau karena persoalan 'liberal' atau tidak di UIN Sunan Kalijaga, namun telah melewati proses dan pertimbangan yang matang. Bahkan, menurut Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, termasuk pertimbangan kejujuran mahasiswi, "Siapa yang bisa menjamin waktu ujian itu benar dia orangnya, bisa saja kan orang lain (tetapi tidak diketahui karena bercadar)."

Sementara itu, Ketum PB NU KH Said Aqil Siroj, ketika diminta pendapatnya tentang pelarangan cadar di UIN Sunan Kalijaga, Jumat 9 Maret 2018, di Kompleks Parlemen, ia menyatakan kepada sejumlah aktivis, "Yang jelas cadar itu bukan ibadah, bukan perintah agama. Budaya. Budaya Arab. Pakai cadar silakan, nggak pakai nggak apa-apa. Tidak ada yang salah dari kebijakan tersebut. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berhak mengeluarkan kebijakan untuk lingkungan kampusnya. Rektor punya wewenang kan, ya sudah. Urusan internal UIN itu."

Selanjutnya, dan saya (dan mungkin sangat banyak orang) setuju dengan dengan KH Said, bahwa, penggunaan cadar tidak diasosiasikan dengan tingkat keimanan. Said menyebut keislaman sejatinya dinilai dari sikap perilaku seseorang. Asal yang pakai cadar jangan merasa paling Islam.  Jangan merasa paling sempurna Islam-nya. Kesempurnaan Islam di dalam hati, akhlak, moral. Juga menurut Ketum PB NU tersebut, "Silakan bercadar, bergamis, dan berjenggot, tapi jangan merasa paling Islam. Jangan merasa paling sempurna Islam-nya. Sebab, Islam dilihat bukan dari penampilan seseorang, melainkan dari akhlak dan moral."

Jadi, mengapa kita harus 'bertengkar' dengan unsur-unsur budaya orang lain (dhi Arab) yang kita gunakan? Jelas, cadar bukan urusan iman atau agama, tapi gaya berpakaiaan yang meniru perempuan-perempuan di Timur Tengah. Mereka, di sana, perempuan-perempuan Yahudi, Orthodox, Kristen, Islam, dan lainnya memakai cadar, karena memang harus memakainya; memakainya bukan kerana alasan agama dan keagamaan.

Saya sendiri, walau pada foto profile di beberapa akun Medsos memakai   cadar, namun dalam keseharian tidak memakai; ada banyak pertimbangan sehingga tidak (bukan belum) memakainya. Tapi, bukan bermakna, kehidupan   dan giat keagamaan saya, misalnya sholat lima waktu tetap rajin, lebih  rendah dari temah-teman lainnya. Bagi saya, bercadar atau  tidak, bukan ukuran iman atau tak beriman  seseorang; bukan juga sebagai  alat ukur terhadap seorang perempuan, ia bermoral baik atau sebaliknya.   

Monggo, jika bercadar, maka berpakaianlah dengan baik benar; jika tak  bercadar, maka berpakaianlah dengan baik benar. Intinya bukan cadarnya, tapi cara berpakain yang benar, anggun, sopan, dan enak dipandang orang  lain

MAR -- JAKARTA SELATAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun