Mohon tunggu...
Meilina Fitriani
Meilina Fitriani Mohon Tunggu... -

orang aneh

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Alangkah Lucunya Negeri Ini: Episode Sekolah Negeri Vs. Sekolah Swasta

26 Mei 2011   03:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:13 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sekolah. Setidaknya itulah yang berlaku di Indonesia. Di negara ini, pendidikan dan belajar identik dengan sekolah. Karenanya, jika ada seseorang dalam rentang usia sekolah tidak mengenyam bangku sekolah, maka ia akan langsung dicap sebagai orang tidak berpendidikan. Untuk mensukseskan program pendidikan di Indonesia dan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pemerintah Indonesia mencanangkan program wajib belajar 9 tahun bagi seluruh anak-anak Indonesia dalam rentang usia 7-15 tahun. Program tersebut mewajibkan seluruh anak Indonesia minimal mengenyam dan memiliki ijazah tingkat sekolah dasar/sederajat dan tingkat sekolah menengah pertama/sederajat.

Institusi yang menaungi program wajib belajar tersebut adalah sekolah yang juga dikenal sebagai lembaga pendidikan formal. Sekolah sebagai ujung tombak pendidikan di Indonesia, memiliki tanggung jawab sebagai pelaksana kegiatan belajar mengajar Dalam praktiknya terdapat pembedaan sekolah dalam hal pengelolaan dan pembiayaan, yaitu sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri merupakan sekolah yang dikelola dan dibiayai oleh pemerintah, sedangkan sekolah swasta biasanya dikelola oleh sebuah yayasan, perserikatan, atau organisasi. Berdasarkan hal tersebut, terdapat kesenjangan subsidi pendidikan yang dikeluarkan pemerintah untuk sekolah negeri dan sekolah swasta.  Akhirnya, tidak sedikit sekolah swasta yang kolaps karena sumber dana yang terbatas.

Jika sekolah swasta tersebut mampu bertahan, hal itu murni karena perjuangan mereka mempertahankan sumber dana tetap ada untuk membiayai kehidupan sekolah, termasuk gaji guru. Untuk menutup sumber dana yang tinggi yang tidak mungkin sepenuhnya dibebankan kepada pengelola, sekolah swasta menetapkan biaya pendidikan yang lebih mahal kepada siswa-siswanya. Masalah yang selanjutnya muncul akibat biaya pendidikan sekolah swasta yang tinggi adalah rendahnya minat masyarakat untuk bersekolah di sekolah swasta. Alasannya begitu klasik, karena biaya yang mahal. Maka tak heran, jika setiap tahunnya banyak sekolah swasta yang kekurangan siswa.

Persaingan antara sekolah negeri dan sekolah swasta tidak melulu dalam urusan pendanaan dan kuantitas siswa, dari segi kualitas tenaga pengajar (guru) dan siswa sekolah swasta juga kalah bersaing. Tentunya ini berlaku bagi sekolah swasta kebanyakan, bukan sekolah swasta yang telah memiliki nama besar. Dari segi tenaga pengajar, status guru sekolah swasta adalah pegawai kontrak yang terkadang masih harus bekerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kesejahteraan mereka kalah jauh dari guru negeri yang telah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), padahal tugas mereka sama, beban mengajar mereka sama, materi ajar yang sama, dan berbagai persamaan lain.

Sedangkan dari segi kualitas siswa, juga jauh bila dibandingkan dengan sekolah negeri. Mulai dari input, dimana siswa-siswa sekolah swasta adalah "buangan" yang tidak diterima di sekolah negeri. Siswa yang mendapat stigma "buangan" dari masyarakat tersebut harus melalui proses dalam hal berbagai fasilitas yang kalah dari sekolah negeri. Jika hal tersebut yang terjadi, bagaimana bisa berharap produk manusia Indonesia yang berkualitas? Jangan heran jika output sekolah swasta kalah bersaing di dunia global.

Perlakuan diskriminatif yang didapat oleh sekolah dan guru swasta semakin mempertajam kesenjangan sosial di masyarakat. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan undang-undang yang mengamanatkan negara untuk menyediakan pendidikan yang merata, terjangkau, dan berkualitas. Kenyataan ini sekaligus membenarkan kritik seorang sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, "sekolah hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial." Dan tentunya, alangkah lucunya negeri ini!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun