Mohon tunggu...
Meilina Fitriani
Meilina Fitriani Mohon Tunggu... -

orang aneh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Pilihan Hidup

8 Juni 2011   09:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:44 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap kali melewati jalan tersebut, saat berangkat atau pulang kuliah, mereka dapat dipastikan ada di sana. Setiap orang menempati tempat yang bisa dibilang sebagai pos masing-masing. Ada yang cukup menengadahkan tangan saja, ada yang menyiapkan sebuah mangkuk kecil hingga selembar peci usang untuk menampung rupiah demi rupiah yang menjadi jatah rizki mereka hari tersebut. Ada yang mengajak serta anaknya yang masih balita, ada yang mengiringi diri dengan lagu-lagu Sunda dari petikan kecapi, dan ada yang hanya sendirian mengandalkan dirinya sendiri, semuanya untuk mengharap kebaikan hati para pengguna jalan.

Banyaknya orang yang berlalu lalang melewati mereka tidak menjamin mereka mendapat rizki yang berlimpah lewat tangan-tangan yang tersentuh hatinya. Lebih banyak orang yang lewat dengan mengacuhkan mereka, memilih tidak peduli dengan keberadaan mereka. Orang-orang yang hilir mudik dengan langkah-langkah panjang seperti diburu waktu atau dengan langkah gontai sambil asyik bercengkerama ria bersama teman-temannya hingga acuh dengan sekitarnya.

Sepanjang jalan tersebut juga dipenuhi dengan aneka macam gerobak makanan yang menjajakan mulai makanan berat, snack pengganjal perut, dan minuman yang melegakan kerongkongan. Tenda-tenda yang menaungi gerobak-gerobak tersebut tidak pernah sepi dari mahasiswa yang sedang mengisi perutnya. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat menyaksikan pemandangan dimana para mahasiswa begitu royalnya mengeluarkan rupiah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, sedangkan mereka –saya yakin- harus merasakan asam lambungnya bergejolak membaui aneka makanan yang mengundang selera.

Mungkin sebagian dari kita bosan melihat mereka. Penampilan mereka lusuh dengan pakaian seadanya yang kumal. Keberadaan mereka setiap harinya di tempat yang sama –mungkin- membuat kepedulian kita terkikis sedikit demi sedikit. Sekali-dua kali memercayakan logam atau lembaran rupiah kepada mereka tidak apa-apa, tapi jika setiap hari kok rasanya kurang mendidik, begitu pikir kita. Mereka tetap saja mengharap belas kasihan orang lain, tanpa ada upaya untuk meningkatkan harga diri mereka dengan bekerja apapun. Sepertinya mereka telah keenakan karena hanya dengan modal tangan dan mangkuk tanpa mengeluarkan tenaga dan pikiran sudah dapat menghasilkan uang untuk hidup setiap harinya. Kita beranggapan lebih baik uang kita masuk ke kotak infaq mesjid atau ke lembaga yang mengurus zakat, infaq, shadaqah (ZIS) yang kini banyak bertebaran.

Pemerintah pun dibuat kewalahan oleh mereka. Hingga ada suatu daerah yang mengeluarkan perda tentang ketertiban umum yang isinya melarang setiap orang atau badan: (1) menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; (2) menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; (3) membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Sanksi bagi yang melanggar berupa ancaman pidana kurungan dan denda hingga Rp 20 juta.

Apakah masalah akan selesai dengan pengeluaran perda semacam tersebut? Bahkan -saya rasa- jika pemerintah pusat sampai mengeluarkan undang-undang sebagai sumber hukumnya tidak akan berpengaruh banyak. Masalah lapangan pekerjaan yang tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk menjadi alasan mengapa banyak orang akhirnya memilih menjadi pengemis. Inilah salah satu lingkaran setan berbagai fenomena di Indonesia. Lapangan pekerjaan yang minim menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah menyayangkan rakyatnya yang tidak bisa kreatif menciptakan berbagai lapangan usaha sendiri untuk menghidupi dirinya. Jika dihubung-hubungkan lagi akan sampai pada aspek lainnya, yang kesemuanya memang menjadi sebuah lingkaran setan tanpa awal dan ujung.

Akhirnya adalah sebuah pilihan dan keputusan hidup. Sebagaimana  banyak dari kita yang memilih untuk tidak menitipkan rupiah kita kepada mereka. pengemis itu pun telah dengan berani memilih dan memutuskan untuk mengesampingkan harga dirinya demi bertahan hidup. Tidak sewajarnya kita kesal dengan keberadaan mereka  hingga mencaci dan mengumpat. Selamanya mereka akan tetap ada sebagai penyeimbang hidup, seperti segala hal di dunia ini yang pasti memiliki dua sisi.  Maka ada orang kaya, pasti ada orang miskin. Mereka menjadi sarana bagi orang yang memiliki rizki lebih untuk beramal. Merekalah salah satu ladang amal kita.

Paling tidak hargailah mereka untuk keberanian memilih dan memutuskan!



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun