Mohon tunggu...
Meilina Fitriani
Meilina Fitriani Mohon Tunggu... -

orang aneh

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggugat Sekolah

13 Mei 2011   16:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:44 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Gadis kecil itu tidak benci sekolah, walaupun tidak bisa dibilang juga ia jatuh cinta secara sempurna pada sekolah. Ia hanya tidak suka harus membawa terlalu banyak buku ke sekolah. Buku tulis yang berbeda untuk tiap mata pelajaran dan buku teks pelajaran. Buku teks tersebut berupa buku paket pinjaman dari sekolah dan buku penunjang yang wajib dibeli oleh semua siswa di kelasnya. Dikatakan wajib dibeli karena setiap tahunnya buku penunjang siswa jarang sekali sama dengan buku penunjang siswa di kelas lebih tinggi. Jadi tidak ada ritual meminjam buku dari kakak kelas.

Buku-buku tersebut membuatnya harus membawa tas berukuran besar, bukan tas lucu dan imut yang disukainya dan diimpikannya untuk dimiliki. Karena buku-buku itu ia menjadi tidak pernah bisa memilih tas yang benar2 diinginkannya. Dan karena tas besar yang berisi buku2 tebal itu, si gadis seringkali mendapat tatapan dan komentar yang dibencinya di sepanjang jalan. Kata seseorang, “Kasihan, anak sekecil itu harus membawa tas yang besar dan kelihatan berat!”. Bagaimana tidak benci dengan komentar seperti itu? Dia memang anak kecil, tapi dia kuat untuk sekedar menggendong tas yang entah berapa kilogram beratnya dan gadis itu yakin dirinya tidak butuh belas kasihan orang.

Hal lain lagi yang tidak disukainya yaitu, ternyata buku2 tersebut tidak selalu digunakan semua setiap harinya. Semuanya tergantung guru, ingin mempergunakan buku yang mana hari itu. Jadilah dibuat kesepakatan bersama teman semejanya, mereka berbagi membawa buku. Seseorang membawa buku paket dan seorang lainnya membawa buku penunjang. Cukup adil bukan? Jadi mereka tidak merasa begitu kecewa jika buku yang dibawanya tidak dipergunakan, setidaknya karena beban tas mereka berkurang. Hingga akhirnya mereka tidak lagi menjadi teman semeja dan si gadis kecil harus membawa semua buku2nya kembali karena teman semejanya yang baru tidak setuju untuk berbagi membawa buku. Sebenarnya ingin sekali gadis kecil itu meninggalkan buku2 beratnya di rumah, namun itu berarti hukuman dari guru yang didapatnya.

Waktu terus berjalan hingga bukan lagi gadis kecil. Seragam putih birunya begitu membuatnya bangga karena itulah lambang superioritasnya bahwa dia beranjak dewasa. Dunianya berubah sedikit demi sedikit. Eh tidak tepat, dirinya yang berubah karena dunia tidak pernah berubah. Urusan buku sudah tidak membuatnya uring2an, dia punya cara cerdas kini, meninggalkan buku2nya di laci meja. Hanya buku yang ada PR saja yang dibawanya pulang. Walaupun beberapa kali terjaring operasi pihak kesiswaan namun tidak membuatnya kapok menyimpan buku di meja.

Masalah buku sudah selesai. Muncul sebuah pertanyaan hasil diskusi panjang dengan temannya tentang apa manfaat sekolah. Toh kesuksesan tidak melulu berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Nyatanya banyak sarjana yang menjadi pengangguran. Apa yang salah dengan sekolah dan pendidikan? Pertanyaan tersebut mereka coba jawab hingga menghasilkan sebuah simpulan jika pendidikan formal itu diperlukan, setidaknya untuk selembar ijazah. Karena di Indonesia hanya orang yang berijazah sajalah yang akan dianggap keberadannya dan tidak dianggap transparan. Mungkin jawaban tersebut terlalu dangkal, tapi itulah pikiran polos anak SMP. Yang pasti mereka tidak berhenti pada jawaban tersebut, mereka terus mencari jawaban atas pertanyaan2 lain tentang hakikat pendidikan yang terus bermunculan.

Tibalah masa putih abu2. Semakin berat? Iya. Beberapa kali gadis itu berdebat dengan orang tuanya tentang tambahan jam pelajaran. Orang tuanya ingin dia les agar tidak kalah bersaing secara akademik dengan teman2 di sekolah, sedangkan si gadis menginginkan sebaliknya. Dia tidak suka les dan benci tambahan jam pelajaran. Baginya kelas dan sekolah sudah semacam sebuah penjara atau tempat yang dikelilingi tembok tinggi sehingga memisahkannya dari dunia luar. Dia sering mengantuk bahkan tertidur saat mendengarkan guru2nya menyampaikan materi pelajaran, terutama untuk mata pelajaran yang memang tidak diminatinya. Yang dia rasakan waktunya banyak terbuang sia2 karena hal tersebut. Banyak hal yang dirasanya bisa dilakukan dan pasti bermanfaat, untuk hal2 yang memang benar2 diminatinya.

Dia yakin les tidak akan membuat nilainya menjadi lebih tinggi. Dengan kondisi yang sudah terkuras habis mulai pukul 07.00-13.30, yang dia butuhkan hanya istirahat untuk memulihkan tenaga dan menyiapkan fisik sehingga dia dapat mempelajari materi pelajaran dari sekolah. Namun les membuatnya kehabisan energi dengan sedikit sekali manfaat yang didapat. Karena kelelahan, dia sering mengantuk saat tambahan pelajaran dan sampai rumah pun tidak ada hal lain yang ingin dikerjakannya selain tidur dan tidur. Alhasil materi pelajaran jarang sekali dapat didalaminya benar2. Jika seperti itu, apa manfaat tambahan pelajaran? Dan bukankah cara belajar setiap orang itu berbeda?

Selain tambahan pelajaran, ada hal lain yang mengganggu gadis itu. Tentang beban materi pelajaran yang harus ditanggung anak SMA. Memang telah ada penjurusan untuk memfasilitasi minat dan mengarahkan bakat di jenjang pendidikan selanjutnya. Ada kelas sains, sosial, dan bahasa. Kelihatannya cukup proporsional karena minat dan bakat seseorang dapat ditampung dan dibina. Hanya kelihatannya tidak seperti kenyataannya. Tetap saja beban belajar anak SMA itu berat. Semua guru ingin anak didiknya mengerti dan memahami materi yang disampaikannya dalam waktu terbatas karena saking banyaknya standar kompetensi yang dibebankan kepada murid. Evaluasi untuk standar kompetensi tersebut adalah nilai dalam wujud angka. Yang nilainya tinggi disanjung sebagai anak pintar dan yang nilainya kecil dicap anak bodoh. Sedangkal itukah melabeli seseorang pintar atau bodoh? Bukankah orang bodoh adalah orang pintar dalam bidang yang tidak diangggap penting oleh suatu komunitas? Jadi orang yang disebut bodoh itu adalah orang yang tersasar di suatu komunitas yang tidak menganggapnya penting. Einsten tidak akan dianggap jenius saat dia berada di komunitas seniman.

Akhirnya gadis tersebut mengakhiri masa putih abu2nya. Seorang gadis kecil telah bermetamorfosis menjadi dewasa. Hidupnya semakin kaya dengan berbagai pelajaran dan pengalaman. Kekayaannya didapat dari sekolah kehidupan. Pendidikan formal hanya menyumbang sedikit suntikan bagi kekayaannya. Simpulannya masih sama, bahwa pendidikan formal terasa hanya untuk selembar kertas yang dikeramatkan sebagian besar orang. Harapannya hanyalah dia tidak termasuk golongan orang yang mengeramatkan selembar kertas itu. Adakah yang bisa membantu mengubah pandangannya tersebut?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun