Mohon tunggu...
ariya
ariya Mohon Tunggu... profesional -

Ariya

Selanjutnya

Tutup

Politik

[Menjelang Pileg 2014]: Ketika "Nomor Urut" Nggak Laku "Dijual", "NOCAN" Jadi Penggantinya

30 Agustus 2013   00:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:37 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari ini saya banyak dapat sms dari beberapa teman lama ataupun teman baru yang aktif di partai politik. "Mas Ari, saya lolos DCT. tolong dukung dan doakan agar bisa jadi anggota DPRD ya" kata salah satu teman yang gabung di Partai A.  Ada juga yang sms saya "Mantab Mas Ari, saya lolos DCT dan dapat "nomor cantik"  semoga berkah ya?" kata teman lain yang gabung di Partai B. Dan ada juga yang menyampaikan kabar gembira ini dengan sedikit kekecewaan "Saya juga lolos DCT Mas Ari, tapi nomor urut saya jelek" ungkapnya di sms sambil di beri kode :-(   alias kode sedang cemberut.

Saya kemudian berpikir, kok ada temen yang lolos DCT (Daftar Calon Tetap) untuk Pemilu Legislatif 2014 ada yang cuek soal nomor urut dan ada yang fanatik dengan nomor urut. Kan sepengetahuan saya, saat ini sudah tidak lagi berdasarkan nomor urut di mana caleg nomor atas kemungkinan pasti jadi, karena akumulasi suara yang didapat semua caleg disatu partai akan terakumulasi dan hasilnya menjadi milik caleg yang berhasil mengumpulkan suara paling banyak.  Kalau jaman dulu, caleg-caleg nomor urut bawah (nomor sepatu) biasanya hanya sebagai penggembira dan pelengkap penderita saja karena akumulasi suara kolektif akan diberikan dahulu kepada caleg yang memiliki nomor paling atas. Tapi sudah dua periode pemilu belakangan ini yang digunakan adalah sistem suara terbanyak. Jadi walaupun caleg tersebut dapat nomor urut 10 alias paling bontot, namun di saat pemilu berlangsung dia memiliki suara yang paling banyak diantara 9 rekan sesama daerah pemilihan (dapil) nya, maka dialah yang berhak "naik tahta" menjadi anggota DPRD Kota / DPRD Propinsi atau DPR RI asalkan suara yang terakumulasi memenuhi  "harga kursi" yang dipersyaratkan.

Nah, jadi dengan sistem ini sebetulnya dapat nomor urut berapa saja ya tidak jadi masalah, karena nantinya yang digunakan penentuan siapa yang bakal mewakili partai di DPRD / DPR kan yang suaranya paling banyak. Percuma juga kalau dapat nomor urut 1 namun suaranya jeblok. Dan bisa saja yang nomor urutnya paling bawah namun suara yang diperoleh memenuhi syarat untuk mendapatkan kursi. dari sisi perhitungan suara memang saat ini nomor urut berapa saja tidak menjadi masalah. Namun dari sisi psikologis, tetap saja caleg dengan nomor urut 1 akan diuntungkan, karena tidak semua masyarakat pemilih hapal dengan caleg-calegnya. Ya biasanya jika sudah memilih gambar partai dia akan mencoblos salah satu gambar caleg. Dan jika semua caleg itu sama-sama tidak dikenal maka ada kecenderungan pemilih akan mencoblos gambar caleg dengan urutan paling atas alias nomor 1, itu menariknya nomor urut satu.

Nah, jika dulu para pengurus partai bisa "jualan" nomor urut kepada para caleg. Misalnya nomor urut 1-2 harganya sekian juta, sementara nomor 3-4 sekian juta dan harga termurah tentu yang nomornya paling bontot. Semua ada harganya. Dulu saya punya teman pernah jadi caleg di salah satu partai. saya tanya "kok nggak jadi kenapa ?" jawabnya : "saya dapat nomor urut bawah". "Lha kenapa bisa dapat nomor urut bawah ?" tanya saya. Teman saya menjawab "saya nggak punya ini !" kata teman saya sambil memberikan isyarat kode jari tengah dan jari telunjuk yang saling digesekan yang kita semua tahu artinya tidak punya duit untuk membeli nomor urut bagus alis nomor urut atas. Kalau jaman dulu nomor urut bisa jadi komoditas dagangan partai. Dan biasanya yang dapat nomor-nomor atas adalah calag-caleg yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi dan "isi tas" yang banyak. Kalau yang hanya memiliki elektabilitas tinggi saja namun "isi tas" nya tipis ya nggak bakalan dapat nomor urut atas. Tapi itu dulu yaaa..

Nah, kalau sekarang. Komoditas dagang yang laku dijual adalah tetap nomor urut 1 dan nomor-nomor cantik. Teman saya di salah satu kota di Jawa Tengah cerita, untuk mendapatkan nomor cantik dia harus bayar sekitar 25 juta. Jadi memang banyak oknum petinggi partai yang dengan sengaja menjual nomor-nomor cantik itu untuk mempertebal pundi-pundi partai masing-masing. Contoh nomor cantik misalnya dia berasal dari Partai dengan Nomor Urut 25, maka nomor cantiknya adalah dia caleg nomor urut 25 di daerah pemilihan 25 juga. Jadi ketika kampanye dia enak saja tinggal bilang "Pilih Yang Nomor 25". Dia akan mendapatkan nomor urut partai, nomor urut caleg dan nomor urut daerah pemilihan (dapil). Nah, itulah yang menurut teman saya jadi nomor cantik yang banyak diburu caleg dan bisa "dijual" mahal. Tentu beda dengan caleg yang asal dapat nomor acak. Misalnya Nomor Partai 25, Nomor Urut Caleg 7, Daerah Pemilihan 10.  Ini memang agak rumit.

Benar tidaknya saat ini nomor urut 1  dan nomor cantik diperebutkan dan bahkan diperjual belikan, memang tidak ada bukti untuk itu, namun beberapa teman yang berasal dari berbagai partai bercerita memang kenyataannya seperti itu. Yah, boleh jadi seperti kentut lah, semua tahu bahwa kentut itu ada dan bahkan bisa mencium baunya, namun tidak bisa membuktikan keberadaannya. (MB.ARIYANTO, Pemerhati Masalah Sosial, Politik & Kemasyarakatan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun