Beberapa tahun lalu, ketika saya baru saja menginjakan kaki di kota Jakarta, saya sempat kost disebuah rumah kontrakan (rumah petak) di bilangan Jakarta Timur. Kebetulan rumah kontrakan yang saya tinggali ada 2 lantai yang masing-masing lantai terdiri dari 6 kamar. Kebetulan sekali, saya menempati sebuah kamar kontrakan yang bersebelahan dengan sebuah salon. Yah, jadi di rumah kontrakan itu ada yang membuka salon dirumah. Lumayan ramai sih, namun yang membuat saya heran adalah pemandangan bahwa salon tersebut sering ramai ada banyak waria yang berkumpul dan bersandau gurau. Awalanya saya kaget harus hidup berdampingan dengan kehidupan para waria, namun lama-lama saya dapat memahami, menyelami dan mengenali mereka secara lebih mendalam. Dan hal ini yang akan saya bagikan kepada teman-teman pembaca kompasiana.
Salon yang berada disamping rumah kontrakan saya itu bernama “Tini Salon” (bukan nama salon yang sebenarnya) , dari namanya saya tadinya membayangkan pemilik salon adalah seorang tante-tante yang bernama Tini. Namun ternyata orang yang biasa dipanggil Mbak Tini itu adalah seorang waria. Uniknya, saya melihat sesuatu yang berbeda dari sosok Mbak Tini ini jika dibandingkan dengan para waria lain yang sering main ditempat tersebut. Mbak Tini saya lihat sudah begitu menjiwai dirinya sebagai seorang wanita, walaupun kodrat sesungguhnya dia itu seorang lelaki. Mbak Tini adalah sosok yang unik, dia sudah menjadi waria sejak remaja hingga kini usianya sudah lebih dari 40 tahun. Dia sempat bercerita kepada saya, bahwa dulunya dia pada saat SMP di sekolahkan di pesantren oleh orang tuanya, karena sebelumnya dia sekolah di sekolah umum dan dikeluarkan karena memiliki sifat yang “aneh”, di masa puber remajanya, dia lebih menyukai anak-anak laki-laki dibandingkan menyukai anak perempuan. Karena ketahuan oleh orang tuanya maka dia dikirim ke pesantren dengan harapan supaya bisa kembali normal. Namun rupanya, kehidupan di pesantren tidak bisa membuatnya berubah, sampai akhirnya dia dikeluarkan dari pesantren karena kasus “mencium” teman laki-lakinya yang tidur satu kamar dengannya. Akhirnya tidak ada teman laki-lakinya di pesantren yang mau tidur satu kamar dengannya.
Setelah keluar dari pesantren, dia benar-benar stress, karena pihak keluarga selalu menekan untuk dia kembali normal menjadi laki-laki, padahal dia sendiri juga menyadari bahwa perasaan bahwa dia itu perempuan bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, namun benar-benar berasal dari hati nya yang paling dalam. Akhirnya dia merasa terpojok dan tersiksa didalam keluarga yang tidak bisa menerima keadaannya, hingga akhirnya dia kabur dan merantau ke Jakarta 20-30 tahun yang lalu. Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta tentu yang dia cari adalah teman-teman yang senasib, dia mulai banyak berkenalan dengan teman-teman sesama waria yang mudah dijumpai di sekitar stasiun Jatinegara pada malam hari. Dan itulah titik awal dia menyandang predikat sebagai waria. Dimasa itu, banyak teman-teman sesame waria, khususnya yang masih muda-muda selalu “mejeng” setiap malam di pinggir rel kereta api Jatinegara. Nah, Mbak Tini remaja juga ikut “mejeng” untuk mengaktualisasikan dirinya bahwa dia sebenarnya adalah “wanita”. Tak dinyana, karena dia memiliki rambut asli yang panjang dan lebat, dan juga paras yang cantik (jika menggunakan mack up) maka, dia langsung menjadi primadona waria di pinggiran rel Jatinegara. Dia paling laris dan punya banyak tamu langganan dibandingkan dengan waria-waria lain, karena selain terlihat lebih muda dia juga terlihat paling cantik. Sehingga selalu jadi rebutan para lelaki hidung belang.
“Mejeng” setiap malam, akhirnya membuat dirinya memiliki profesi sambilan sebagai waria “penjaja cinta”. Hal ini dilakoni Mbak Tini selama bertahun-tahun dan sudah puluhan kali berpindah tempat. “Saya pernah beberapa kali kena razia dan dikirim ke panti sosial, namun anehnya disana petugas pada bingung, saya mau ditempatkan di ruang laki-laki atau perempuan, karena dipanti sosial kala itu tidak ada ruang untuk waria” cerita Mbak Tini mengenang masa lalunya. Ketika akan dimasukan ke ruangan laki-laki dia menolak mentah-mentah, karena merasa dirinya adalah wanita dan dia takut dikerjain oleh anak-anak laki-laki. Namun ketika akan dimasukan ke ruangan wanita, maka para wanita (asli) yang merasa keberatan karena harus tidur dengan seorang laki-laki. “Akhirnya saya dan beberapa teman waria disuruh tidur di aula” kenangnya. Selama dipanti sosial itu, Mbak Tini mendapatkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan, diantaranya adalah ketrampilan untuk membuka salon. Dan itulah yang kemudian dijalankankan hingga saat ini.
Kini diusia yang sudah lebih dari 45 tahun, Mbak Tini sudah tidak pernah “mejeng” lagi dan juga sudah tidak berprofesi sebagai “penjaja cinta”. Dia sudah fokus hidup dari usaha salon yang sudah sekitar 10 tahun dikelolanya. Dia sendiri sudah merasa dirinya benar-benar seorang wanita, sehingga setiap hari dia berpenampilan seperti seorang wanita tulen. Dan jika sedang santai dirumah dia hanya mengenakan daster panjang saja. Hebatnya, setiap pergi atau keluar rumah, dia selalu mengenakan pakaian muslim, mengenakan baju gamis panjang dan jilbab. Mbak Tini sebenarnya juga ingin sekali bisa ikut pengajian rutin ibu-ibu. Namun masalahnya tidak semua ibu-ibu bisa menerima kehadirannya. “Ingin sekali saya ikut pengajian ibu-ibu dan majelis taklim, kumpul di masjid mendengarkan pengajian ustadz dan sama-sama membaca Al Quran. Namun banyak ibu-ibu yang menolak kehadiran saya, sementara saya juga merasa tidak nyaman jika harus mengikuti pengajian bapak-bapak” ucapnya sedih.
Saya juga sering merasa prihatin dan sedih dengan kondisi Mbak Tini, dia betul-betul merasa dirinya adalah wanita, namun kodratnya benar-benar mengatakan bahwa dia laki-laki. Saya melihat setiap dia ikut shalat jamaah di masjid, dia harus menanggalkan semua atribut wanita nya dan berganti dengan menggenakan sarung. Dan dia “harus terpaksa” berdiri di shaff laki-laki sesuatu yang sangat bertentangan dengan hati nuraininya. Sementara jika dia ingin berada di shaff perempuan, maka akan banyak ibu-ibu yang keberatan. Sehingga dia hanya bisa bingung dan pasrah saja untuk menjadi laki-laki pada saat menunaikan ibadah shalat berjamaah. Sementara ketika menunaikan shalat sendiri dirumah dia selalu mengenakan mukena. Entah syah atau tidak shalatnya saya kira hanya Allah yang tahu.
Mbak Tini ini juga sangat aktif dalam kegiataan organisasi Waria Muslim dan sebagai pengurus di organisasi itu, dia sering mengikuti pengajian-pengajian yang pesertanya adalah para waria. Nah, kalau pesertanya semua waria tidak jadi masalah. Namun jika dia mengikuti pengajian bapak-bapak atau ibu-ibu itu yang jadi masalah. Mau ikut di kelompok mana?. Mbak Tini juga termasuk aktivis yang sering mengikuti seminar dan pelatihan tentang kesehatan, psikologi dan lain sebagainya yang dikhususnya untuk para waria. Yang menarik, dia pernah cerita kepada saya sambil bertanya:
“Mas Ari, apa benar waria itu termasuk dalam golongan orang-orang cacat ?” . Kaget juga saya mendengar pertanyaan itu.
“Lho memangnya kenapa Mbak ?”. Tanya saya.
“Ini lho, saya dapat undangan mengikuti pelatihan ketrampilan katanya pelatihan ini untuk penyandang cacat fisik dan mental, lha saya kok di undang. Saya kan bukan penyandang cacat fisik dan mental, tapi saya hanya waria” kata Mbak Tini.
Heeeem, sulit benar saya menjawab pertanyaan ini. Akhirnya saya hanya bilang “Kalau menurut saya enggak sih, tapi coba entar saya cari tahu kepada orang yang lebih paham Mbak” jawab saya.
“Ya udah Mas Ari, tolong ya. Saya cuman penasaran aja, kok sepertinya waria itu dimasukan dalam kelompok orang-orang cacat” sambung Mbak Tini.
Gimana menurut pembaca ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H