Setiap lebaran, saya selalu berusaha untuk berkunjung ke kota Yogyakarta dan salah satu tempat favorit saya adalah pasar kaget di halaman Pura Pakualaman, yang setiap lebaran menjadi arena wisata kuliner dan permainan anak. Beragam jenis makanan khas Jogja tersaji disana begitu juga aneka mainan anak-anak mulai dari mainan anak-anak buatan pabrik berbahan baku plastik dan fiber hingga mainan tradisional berbahan baku kayu dan tanah liat. Semua menyatu, antara budaya tradisional dengan budaya modern, termasuk aneka makanan yang dijual disana.
Salah satu daya tarik pasar kaget di halaman Pura Pakualaman adalah adanya makanan tradisional yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda dan Jepang dulu, namanya sate "kere" Â yaitu sate yang rasanya manis namun tidak ada daging nya. Yang ditusuk dan dibakar hanya semacam koyoran (gumpalan) lemak yang agak keras dan diberi bumbu hingga jika dimakan terasa sangat empuk, manis dan nikmat sekali. Apalagi dinikmati saat masih panas. Lezat sekali.
Mengapa dinamakan sate "kere" , ya..karena pada awalnya sate ini dibuat oleh orang-orang miskin yang tidak mampu membeli sate daging namun ingin merasakan nikmatnya makan sate. Maka orang-orang miskin ini mengakali lemak sapi supaya bisa ditusuk dan dibakar menjadi sebuah sate yang tak kalah nikmatnya dibanding dengan sate daging kambing atau sate daging sapi. Tentu saja karena bahannya hanya lemak dan tidak ada dagingnya sedikitpun, maka harga sate kere pun amat sangat terjangkau oleh kantong orang-orang miskin yang saking miskinnya di Jogja dan sekitarnya disebut  dengan kaum kere (orang yang sangat-sangat miskin). Kaum kere biasanya disetarakan dengan para gelandangan dan tuna wisma yang ditidur di emper-emper toko karena tidak punya rumah dan hidup dari belas kasihan orang lain. Itupun mereka masih mampu untuk membeli sate kere yang nikmat. Tapi itu duluuuuuu........
Dijaman sekarang, sate "kere" sudah naik kelas. Bukan tampilannya, bukan cara masaknya, bukan cara penyajiannya. Karena sate "kere" hingga saat ini tetap sebagai makanan yang disajikan dipinggir jalan tanpa atap tanpa dinding dan juga dibawah pohon rindang saja. Belum ada yang berusaha mendirikan restoran sate kere atau bahkan kafe sate kere. Artinya sate kere masih dianggap sebagai makanan kelas bawah. Namun kenyataanya harga sate "kere" pada saat ini justru lebih mahal dibandingkan harga sate daging, baik itu daging ayam, daging sapi ataupun daging kambing. Walaupun diual ditempat dan dengan cara yang sangat sederhana, harga sate "kere" ini tergolong mahal. Untuk orang-orang yang dilihat sebagai penduduk asli, harga sate "kere" per tusuk adalah Rp 1500. Nah, kalau yang beli berlagak ke Jakarta-jakartaan (walaupun sebetulnya orang kampung) harga sate "kere" bisa jadi Rp 3000 / tusuk. Artinya si penjual juga suka nakal memanfaatkan aji mumpung. Â "Wah ini orang Jakarte, mumpung kesini dimahalin aja" mungkin begitu pikir penjualnya. Padahal yang beli itu juga mungkin orang satu kampung di Wonosari atau Bantul sama seperti yang jualan sate "kere" namun karena terbiasa hidup di Jakarta dengan Bahasa Indonesia, maka dialog dengan Mbok bakul nya pakai bahasa Indonesia, makanya Mbok Bakul nya agak nakal dimahalin banyak. Ya, Andaikan tidak dimahalin, harga Rp 1500 / tusuk saja sebetulnya juga sudah mahal karena di Jakarta dengan uang segitu kita bisa makan 1 tusuk sate ayam di pedagang kaki lima. Isinya daging semua. Lha ini isinya lemak semua?.
Jadi sekarang ini sate "kere" sudah berubah dari makanan tradisional menjadi "barang antik" yang harganya mahal. Â Coba misalnya kita disuruh beli mahal sepeda bekas tahun 2010, kita pasti ogah membeli dengan harga mahal. Namun jika sepeda bekas itu tahun 1945 mungkin banyak kolektor yang mau membeli dengan harga mahal. Mungkin itu juga yang terjadi pada sate "kere". Orang tidak lagi lihat bentuk dan isinya, namun melihat sisi keunikannya. Jadi membeli sate "kere" bukan lagi menjadi kebutuhan untuk memebuhi rasa lapar, namun sebagai gaya hidup saja. Kan unik kalau orang kaya makan sate nya para kere, untuk itulah mereka mau membayar mahal. Â Ya, jadi sekarang pembeli sate "kere" sudah bukan lagi orang-orang miskin (apalagi para kere yang miskin banget), para kere mana mampu membeli sate "kere" ini. Jadi apakah perlu para kere ini menciptakan sate yang lebih kere lagi khusus untuk para kere yang harganya juga terjangkau oleh para kere-kere?.
Yah, biarkan waktu yang berbicara apakah sate "kere" ini akan mampu bertahan dimasa yang akan datang?. Hanya satu pesan saya untuk MBok-Mbok Penjual Sate "Kere". Tolong jadikan sate "kere" ini sebagai sebuah komoditas budaya masyarakat Jogja, jadikan ini sebagai salah satu icon makanan tradisional rakyat kecil dan jadi daya tarik wisatawan di Jogja. "Mbok, kalau ingin sate "kere" ini lestari tolong kalau pembelinya pakai bahasa Indonesia, bahasa sunda, bahasa batak, bahasa dayak dan bahkan bahasa papua sekalipun tolong harganya jangan dibedakan dengan pembeli yang berbahasa Jawa, karena mereka mau membeli dagangan Mbok karena menghargai budaya kita. Tolong ya Mbok, bikin wisatawan betah dan kerasan di Jogja karena keramahtamahan dan ketulusan Mbok-mbok semua melayani mereka". (MB.ARIYANTO, Pemerhati Sosial Kemasyaratan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H