Mohon tunggu...
Iwan Nugraha
Iwan Nugraha Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang yang bangga sebagai bagian dari suara dan pemikiran warga negara yang "awam", lugas dan apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia dan Negeri para Avatar

19 Desember 2014   04:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:59 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="amazonaws.com"][/caption] Avatar yang dimaksud disini bukanlah yang dari filem animasi tingkat dewa yang menyabet piala Oscar di ajang Academy Award itu. Bukan yang itu, para pembaca. Ada satu lagi filem Avatar bikinan Nickelodeon yang bercerita tentang manusia berkemampuan super mampu mengendalikan elemen alam: air, udara, tanah dan api. Tapi si tokoh bukan itu yang akan menjadi pokok bahasan disini. Sebuah tag line terkenal dalam adegan pembuka dilem itu sempat menjadi meme yang merajai media sosial. "Semua berubah ketika negara api menyerang" ... Menceritakan tentang kondisi  kedamaian yang harmonis dan saling berdampingan antar negara berkekuatan super berlainan yang berakhir porakporanda. Negara api sebagai negara yang merasa superior menginvasi semua negara di planet Avatar. Negara air, tanah dan udara. Keadaan berubah drastis! Saling curiga sebagai antek penjajah merebak dalam kehidupan keseharian masyarakat yang semula rukun saling bantu. Semua orang (TEPATNYA: HAMPIR semua orang) mendambakan kondisi damai seperti sebelum peperangan terjadi. Apa hubungannya dengan Indonesia? Secara riil memang tidak ada, karena planet para Avatar hanyalah rekaan Aaron Ehaz, sedangkan negeri jambrut katulistiwa ini nyata ada di dunia. Tapi ada semacam benang merah hubungan dengan tag line filem itu. "Semua berubah sejak menjelang PILPRES 2014 terlaksana" ... Ya, aku menangkap kondisi miris seperti itu. Kedamaian, kerukunan, dan sensitivitas dalam tolong-menolong mendadak menjadi semacam cerita manis di masa lalu. Agak lebay mungkin, tapi coba Anda perhatikan ini. Sebuah percakapan menyenangkan dan mengasyikkan dengan saudara tiba-tiba menjadi situasi yang memuakkan ketika beralih ke masalah politik dan ternyata terjadi perbedaan sudut pandang. Sudut pandang, ya aku menyebutnya itu akar permasalahannya. Seperti lazimnya situasi menjelang pemilu tingkat manapun, pasti ada penggiringan opini untuk kepentingan masing-masing kekuatan politik yang berkepentingan memperebutkan kekuasaan. Ya boleh saja sih, hanya saja, menurutku, caranya sebisa mungkin sportif dan sehat lah. Kondisi berbeda terjadi pada perhelatan akbar 5 tahunan memilih pimpinan negara  tahun ini. Kekuatan dari freedom of speech dan fasilitas sosial media yang menjadi darah daging masyarakat bagaikan pisau bermata dua. Aturan main yang belum tertata rapi dan kelonggaran dunia maya dari sistem hukum dunia nyata membuat perang opini terjadi dengan sengit dan panasnya. MENGHALALKAN segala cara, ya itulah yang dilakukan kekuatan-kekuatan politik demi mendukung jagoannya. Brutal, barbar dan jika saja dunia maya saat ini wujudnya seperti dunia dalam filem Matrix, pasti saling bunuh via cyberspace telah terjadi. Lebay?Tidak terlalu lah. Perang opini dan pemberitaan negatif terjadi begitu dahsyat. Sebuah media sosial yang pada awalnya penuh canda, mendadak berisi cacimaki, share berita picisan sarat kebohongan, kata-kata kasar, dan tulisan bernada saling menyerang dengan keji seakan Tuhan tidak mengetahui apa yang sedang diperbuat. PERUBAHAN ini terjadi demikian cepatnya dan nyaris di semua sosial media menjadi arena pertempuran adu isi benak. Banyak yang merasa muak dan berusaha membatasi lontaran amunisi kata-kata kotor nyasar di beranda akun-nya dengan cara menghapus pertemanan. Ya, sebuah kondisi yang cukup menyedihkan apalagi hanya disebabkan oleh pengaruh berita gila yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tingkat akurasinya. Parahnya, peperangan ini terjadi di 2 dunia, nyata dan saiber. Persahabatan terceraiberai hanya karena beda pendapat. Padahal negara ini memperjuangkan kebebasan untuk bebas mengemukakan pendapat sampai berdarah-darah dan korban jiwa. Bahkan sampai saat ini... setelah gelaran pemilihan sudah mendapatkan pemenangnya, peperangan terus saja terjadi. Saling caci, caling fitnah, dan adegan memuakkan lainnya. Apakah semua hal tidak mengenakkan itu akan terjadi dalam jangka panjang. Prediksiku IYA. Sebuah kondisi saling berbenturan, saling menyalahkan, mencari kambing hitam ats perubahan yang sejatinya penyebabnya bukan dari salah satu kubu berkepentingan politik. Aku selalu berusaha untuk membuka pembicaraan dengan setiap orang dan memelihara atmosfer yang saling menyamankan dengan satu pantangan: jangan NGOMPOL alias ngomongin politik. Sealiran atau berbeda pemikiran akan menyeret kepada obrolan yang membuat situasi menjadi tidak enak untuk dipanjanglebarkan. Dapatkah situasi ini akan kembali seperti sebelum ada pilpres 2014? BISA, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Kedewasaan seseorang tidak ditentukan dengan usianya, tingkat pendidikan, jabatan, bahkan status sosialnya. Banyak cerdikpandai yang bahkan menjadi agen penyebar perpecahan dan propaganda fitnah. Orang banyak mengira karena diucapkan oleh seseorang pandai maka berarti sahih atau akurat. Ya kenyataannya memang demikian, tidak udah disangkal. Seperti rakyat negara air, tanah dan udara yang merindukan kedamaian. Hanya saja, Avatar yang menjadi penumpas kezaliman memang tidak pernah ada di kehidupan nyata. Namun ada dalam alam pikiran masing-masing. Avatar itu sebuah niat tulus dari nurani untuk menjadi orang yang tidak mengikuti syahwat angkaramurka demi kepuasan semu. Bicara mengenai kondisi saat ini. Apakah ketika melihat sebuah penyimpangan yang dilakukan pemerintah terpilih, terus harus diam saja demi menjaga kerukunan? Tentu tidak! Penyimpangan tetap sebuah pelanggaran yang harus dikembalikan ke jalur yang tepat. Caranya harus beretika juga, dan mengedepankan akal sehat daripada emosi. Berilah solusi bukan sekadar mencaci. Itulah yang membedakan manusia berilmu dengan manusia yang sekadar hidup menuruti tuntutan perut. Bersyukurlah bahwa sistem pemerintahan saat ini bukan otoritarian yang memberangus hak mengeluarkan pendapat bahkan sampai mencacimaki membunuh karakter orang lain. Abaikan tulisan tidak penting ini. Hanya sekadar uneg-uneg semata. KotaPetir Deadstyle on deadline, 18-12-14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun