Mohon tunggu...
Maztrie™ Van Ikanmasteri
Maztrie™ Van Ikanmasteri Mohon Tunggu... -

BigBos @ http://ikanmasteri.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangsa Besar Atau Bangsa Barbar...?

15 April 2010   13:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:46 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_119217" align="alignleft" width="300" caption="Illustrasi: barbarian ( www.img524.imageshack.us )"][/caption] Tak terasa kita telah berjalan di tahun 2010 ini dan berada tepat berada dipertengahan Bulan April, itu berarti seminggu lagi kita akan memperingati Hari Kartini, yaitu tanggal 21 April nanti. Dan tak kurang dari tiga minggu lagi pada hari kedua Bulan May nanti akan hadir juga peringatan ulang tahun kelahiran Ki Hadjar Dewantara a.k.a Soewardi Soeryaningrat, yang juga dinobatkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Antara Raden Ajeng Kartini dan Raden Mas Soewardi Suryaningrat terjadi banyak kesamaan dalam pemaknaan Sejarah berdirinya Bangsa Indonesia ini. Terlepas dari pro dan kontra atas persembahan Jasa Pahlawan yang disematkan kepada mereka berdua, mari kita coba untuk ambil beberapa kisah yang hendaknya bisa membuat kita anak-anak Bangsa ini juga selalu mengambil sikap perbaikan guna kemajuan Bumi Indonesia tercinta. Satu sudut pandang mengenai pendidikan. Baik Kartini ataupun Ki Hadjar, melihat dari gelar namanya tak dapat dipungkiri bahwa mereka berdua ini termasuk dalam kasta Bangsawan (ningrat) pada jamannya. Namun bukan berarti kasta itu membuat hati dan mata mereka buta demi mensejahterakan orang-orang kecil disekitarnya. Dan bukan satu kebetulan apabila melalui jalur dunia pendidikan lah mereka ini memberikan pencerahan bagi kaum-kaum tertindas di eranya. Banyak yang kita dapat dari keduanya, ada kumpulam Surat "Habis Gelap Terbitlah Terang" dari RA Kartini, lain dari itu banyak petuah yang mampu kita  peroleh dari banyak pelajaran Ki Hadjar Dewantara, ada Asah-Asih-Asuh, ada Trilogi Kepemimpinan yang meliputi "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani, serta diharapkannya kita umat manusia ini selalu merawat tiga keutamaan bersosialisasi yang terdiri dari memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayuning bawana. Diatas barulah dua sosok yang patut kita jadikan bahan pelajara bagi kehidupan ini, baik itu bersifat demi kemajuan pribadi ataupun menyangkut kehidupan yang lebih luas dalam pergaulan kita. Disadari atau tidak, Sedikit banyak hal-hal yang demikian akan memberi pengaruh dalam perjalanan hidup. Perjalanan hidup yang dewasa ini sangat tidak karuan apabila kita lihat dan rasa, utamanya menyangkut pergaulan dan sisi kehidupan. Kearah mana akan kita tempuh...... Terlalu banyak angin yang bakalan hembuskan kita dalam menentukan arah tersebut. Dan tak dapat kita pungkiri sangat gampang sekali angin perpecahan diantara kita ini berhembus menggoyangkan kesejatian akal dan hati. Seakan-akan telah terjadi keruntuhan akan makna Persatuan dan Kesatuan Bangsa ini, kesuciannya mulai tercabik hembusan angin itu. Sebagai bukti telah berulangkali kita saksikan tragedi pertikaian diantara kita rakyat kecil, dan baru saja satu hari yang lalu keributan antar anak bangsa telah digelar di satu sudut Kota Jakarta. Bak pertunjukan, semua dunia tahu akan kejadian pertikaian itu, padahal belum usai pertikaian lain melanda para pejabat yang notabene sebagai wakil kita dewan terhormat, juga para abdi yang seharusnya melayani, namun justru mereka itu lah para pengerat yang tak lebih berharga dari kelakuan tikus dalam comberan. Kalau sudah begitu siapakah yang diuntungkan...?  Saya rasa hanya mereka-mereka yang kuasa membikin skenario atas sandiwara Bangsa ini. Inikah yang dinamakan Bangsa Besar sbagai Bangsa Pemaaf...? Sehingga kita akan dengan cepat melupakan kejadian yang telah lewat... Coba mari kita ingat sedari akhir tahun menjelang pergantian awal tahun 2010 yang lalu. Akhir Desember tahun lalu ada satu buku "Gurita Cikeas" yang sempet membuat heboh, yaitu sebuah buku karangan George Junus Aditjondro yang diantaranya berisi tentang tulisan dugaan penerimaan dana bantuan kampanye satu Partai besar berasal dari aliran Century melalui Account keluarga Sampoerna. Dan sehari sebelum Gus Dur Wafat, George Junus Aditjondro saat meluncururkan buku 'Gurita Cikeas' sempat memukul dengan menggunakan buku kepada Ramadhan Pohan Pemred Jurnal Nasional (Jurnas) mantan wartawan Jawa Pos biro Washington, Amrik. Menurut informasi yang ada, kedatangan Ramadhan saat itu berfungsi menggantikan Andie Arief sebagai wakil dari pemerintah. Tabokan George tersebut mengenai mata kiri Ramadhan. Kasus rame di kalangan media. Ramadhan ngerasa di atas angin dan memperkarakan George ke polisi dengan tuduhan penganiayaan. Diakhir cerita, tak begitu jelas mana kebenarannya namun dengan meninggalnya Gus Dur seakan-akan kasus yang ada sudah mengalami case-closed. Lain halnya dengan kata sakti bangsat yang diucapkan seorang anggota Dewan yang terhormat. Sepertinya sampai sekarang kata-kata itu syah-syah saja diucapkan oleh anggota yang menjabat sebagai wakilnya rakyat. Padahal saya sebagai rakyat (yang diwakili saja) merasa tak rela melihat nilai sopan santun yang dipertunjukkan pada tempat yang tak semestinya itu. Belum lagi antara Cicak dan Buaya, Penjahat Century yang sebenarnya juga mana....  Semuanya seolah-olah telah sirna dimakan oleh sang Markus yang baru saja digembor-gemborkan doyan makan dengan lauk bernama pajak. Dan kini saat satu institusi sedang merasa didholimi oleh mantan anggotanya sendiri (yang mungkin telah sakit hati), yang selanjutnya institusi ini menggunakan berbagai macam cara dan dalih untuk menjegal sang pahlawan (kesiangan) berjuluk DuaJee, termasuk menahan kepergiannya sewaktu di Bandara, satu gelaran baru sandiwara kolosal telah juga digelar di panggung Negeri ini. Yach satu Perang Kolosal itu berkedok "makam mBah Priok". Menilik keadaan yang carut marut ini, akankah kita menemui TERANG sebagaimana harapan Kanjeng Raden Ayu Kartini..? Padahal gelap yang telah ada sepertinya tak ada niatan untuk disingkap....! Saya pikir bukan tidak menutup kemungkinan apabila melihat keterpurukan bangsa ini kita semua yang berperan sebagai rakyat kecil bakalan memberikan dukungan demi kemajuan. Dengan catatan apabila kelakuan para punggawa Negara yang sudah sepatutnya kita tempatkan didepan  berlaku baik adanya. Namun sebagaimana yang kita saksikan, sikap sebaliknya tak dapat dihindari  karena kenyataannya mereka-mereka ini malah berperan sebagai pengerat.... Kecenderungan melupakan Tutwuri Handayani akan lebih dominan selama para pejabat pun tidak mempedulikan Ing Ngarsa Sung Tuladha. Semoga sebagai pribadi "wong cilik" yang tanpa berkehendak melukai Ibu Pertiwi kita masih diberikan kemuliaan untuk dapat menebarkan aroma harum tentang kesejatian diri (memayu hayuning sarira), kesejatian Bangsa (hayuning Bangsa), syukur-syukur kesejatian Dunia (hayuning bawana), menyatu dengan alamNYA, sebagaimana cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara. Harapannya adalah menjadi  bangsa yang besar dan bukan bertabiat bar-bar. Satu definisi Memaafkan bukan berarti harus melupakan...!!! [uth] Kami posting juga di http://ohtrie.multiply.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun