Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Perempuan Tidak Pernah Cantik?

30 Desember 2023   07:18 Diperbarui: 30 Desember 2023   07:18 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan tanggapan orang begitu banyak, paling banyak ada yang mengatakan bahwasanya cantik itu relatif, sebagian menjawab bahwa cantik itu adalah kepribadian, cantik itu adalah hati, dan bahkan sampai menjawab dengan jawaban personal dan kepedean;  cantik itu aku. Beberapa malah mengirimkan jawaban menggunakan foto maupun screenshoot dari TikTok untuk mendefinisikan apa itu cantik, namun pada akhirnya dari semua jawaban tersebut saya kemudian mengamil premis, jika memang cantik itu relatif, maka ia pasti tidak pasti, dan sebab ia tidak pasti, ia pasti berubah-ubah seiring zaman. Dari premis tersebut, saya munculkan pertanyaan; Mengapa perempuan tidak pernah merasa cantik?

Saya kemudian mencari literature terkait sejarah kecantikan dan pembahasan hanya untuk mencari esensi dari cantik itu sendiri serta menjawab pertanyaan tersebut, dan dalam pencarian saya, saya tidak menemukan kapan kata cantik itu ada, yang ada hanyalah budaya-budaya tentang kecantikan itu sendiri. Akibat dari hal tersebut mirisnya membuat makna dari cantik semakin hilang dan tergerus oleh zaman.

Percaya atau tidak, kecantikan yang kita definisikan saat ini merupakan tradisi turun temurun dari masa lalu, bentukan dari budaya-tradisi maupun hibridasi tanpa filtrasi sehingga makna dari kecantikan tersebut mengawang-ngawang seiring zaman. Akan tetapi setidaknya zaman sekarang sudah canggih, kita tidak perlu melukai diri kita lagi sebab sudah ada filter Instagram dan Tiktok untuk mempercantik diri, kita tidak perlu takut ketika jerawat lebih banyak muncul sebanyak kasus korupsi sebab kita sudah memiliki aplikasi Remini. Kamera-kamera canggih bermunculan hanya untuk memenuhi perasaan cantik yang tidak pernah bisa terpenuhi; kamera Iphone didewakan, kamera Android termajinalkan.

Namun pada zaman dimana media sosial dan kamera-kamera handphone canggih tersebut bermunculan, leluhur kita telah menderita sejak lama hanya untuk mengejar kecantikan itu, hanya untuk memenuhi definisi sosial akan kecantikan yang entah siapa pengarangnya.

Misalnya saja pada abad ke 9-13 di China, perempuan mematahkan kaki jari mereka sendiri dan memaksanya masuk kedalam sebuah sepatu yang teramat kecil semenjak mereka berumur tujuh tahun, hal yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan kaki sehingga membuatnya menjadi sangat mungil. Kala itu, definisi zaman China akan kecantikan adalah satu; ketika kaki kamu kecil, maka kamu cantik.

Jauh sebelumnya lagi, tepatnya pada abad 8-12 di Jepang, perempuan-perempuan menghitamkan gigi mereka setelah menikah sebagai simbol kecantikan dan komitmen akan pernikahan. Bahkan salah satu tradisi mereka, mereka menggunakan tahi burung untuk melumuri wajah hanya untuk merebut definisi kecantikan itu sendiri. Pada saat itu di Jepang, cantik adalah ketika kamu menghitamkan gigi setelah menikah.

Jauh sebelumnya lagi, bangsa Maya kuno sampai merubah bentuk kepala mereka sampai menjadi lonjong seperti alien hanya untuk mengejar kecantikan itu, bahkan sampai sekarang kita bisa melihat suku-suku lainnya memanjangkan leher, telinga, bahkan melebarkan bibir sebagai validasi kecantikan yang ada. Namun cukupkah?

Dibuat penulis
Dibuat penulis

Dalam sejarah perkembangannya kecantikan memang relatif serta berubah-ubah, setiap daerah, zaman, maupun negara nyatanya memiliki definisi akan kecantikan itu sendiri. Di Indonesia yang memiliki iklim tropis, banyak perempuan ingin terlihat cantik dan bahkan merasa cantik kalau kulit mereka putih. Hal tersebut ditandai dengan penggunaan filter 'putih' di media sosial yang begitu banyak digunakan dan mendominasi dibandingkan filter yang lain.

Di Amerika, hal tersebut malah berbeda. Orang-orang Amerika menggunakan filter 'coklat' untuk membuat kulit mereka yang putih menjadi coklat, bahkan mereka rela berjemur di samping pantai hanya untuk mendapatkan kulit coklat. Bagi mereka, coklat adalah lambang eksotisme yang membuat mereka merasa cantik.

Lalu dari problema diatas, bukankah kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya perempuan sebenarnya tidak pernah benar-benar cantik karena mereka sebenarnya tidak pernah mengejar kecantikan itu? Perempuan hanya mengejar mati-matian definisi dari cantik yang relatif. Bahkan bisa jadi, perempuan menggunakan kamera berkualitas tinggi, gonta-ganti filter bukan untuk menjadi 'cantik', tapi hanya untuk 'merasa cantik', sebatas kebutuhan jiwa akan validasi dari kecantikan manusia kesepian yang tidak pernah diakui. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun