Pemborosan Kata dalam Menulis Cerpen
Seperti kata Bapak Jakob Sumardjo dalam bukunya yang berjudul Catatan Kecil dalam Menulis Cerpen, saya semakin menyadari bahwa saya dan mungkin sebagian dari kita juga kerap melakukan hal yang sama.
Hal itulah yang kemudian saya coba lakukan pada cerpen Ikan Mujair Gondrong Berjanggut, yang menceritakan seekor ikan yang merokok di dalam air dan suka berdiskusi. Namun, ketika membacanya, saya terkadang berharap bahwa ceritanya tidak bertele-tele dan pembaca bisa menerka maknanya melalui persepsi mereka pribadi.
Ada satu dilema sebenarnya yang dikatakan Bapak Jakob dalam aturannya ini, yaitu bahwasanya penulis cerpen pemula kerapkali terlalu bertele-tele dalam menyampaikan cerita sehingga terkadang membuat cerpennya menjadi jauh dari tema utama dan lepas dari gagasan utamanya.
Akibatnya? Sudah jelas ceritanya menjadi membosankan, bahkan juga membuat pesan moral yang mestinya bisa diambil pembaca secara utuh menjadi setengah-setengah. Itulah mengapa dalam cerpen penulis dituntut untuk memiliki kemampuan menyederhanakan cerita sehingga cerpen yang dibuat menjadi proporsional, pas.
Mengapa pemborosan kata dalam pembuatan cerpen terjadi?
Pemborosan kata dalam menulis cerpen umumnya terjadi karena dua hal:
Pertama, penulis mengimajinasikan diri mereka laksana Messi yang mampu menggocek bola. Penulis merasa bahwasanya cerpen yang mereka buat merupakan tempat mereka bisa memperlihatkan kemampuan mereka, kepiawaian mereka dalam berkata-kata, hal yang kemudian membuat mereka merasa dalam cerpen yang mereka buat, mereka adalah rajanya.
Hanya saja kemudian mereka lupa tentang pembaca, bahwasanya tidak semua pembaca bisa digocek sedemikian rupa. Beberapa pembaca malah paham bahwasanya cerpen merupakan perwujudan dari penulis itu sendiri, dan setiap orang cukup dewasa untuk menerima penulis apa adanya.
Kedua, bahwasanya penulis merasa cerita mereka tidak lengkap. Hal terebut kemudian membuat penulis melakukan segala cara untuk menutupi kelengkapan tersebut, sehingga cenderung memasukkan bagian yang tidak perlu dimasukkan ke dalam cerita.
Akibatnya adalah tentu karena 'perfeksionisitas' penulis tersebut, tulisannya menjadi biasa, monoton. Pembaca dalam hal ini dianggap layaknya bayi yang harus disuapi segalanya dan diminta---bahkan dipaksa---untuk paham dengan apa yang ingin disampaikan penulis.