Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mereka yang Memancing di Pantai Ampenan

17 November 2022   06:15 Diperbarui: 17 November 2022   06:19 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ampenan dan orang yang memancing, Foto dari penulis

Mereka Yang Memancing Di Pantai Ampenan

Kala itu masih pagi sangat dan aku memutuskan keluar dari rumah kontrakan yang kuhuni bersama teman-teman UIN Mataram lainnya. Angin berhembus dari laut dan menggerakkan rambutku yang kian panjang.

Kontrakan memang begitu dekat dari pesisir pantai, cukup berjalan sekitar 300 meter maka aku akan menemukan lautan luas yang kadang diisi oleh sebuah kapal kargo dan beberapa nelayan yang sedang mencari ikan. Ampenan adalah surganya pantai, pada zaman dahulu kota ini adalah awal peradaban dan kemajuan di Lombok sebab semua orang yang datang ke Lombok pasti melalui Ampenan.

Ampenan dulu adalah satu-satunya pelabuhan di Lombok, hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi antara masyarakat Ampenan dengan pendatang yang datang dari penjuru dunia, baik dari segi bahasa maupun budaya. Bahkan selain berasal dari daerah-daerah di Indonesia, beberapa pendatang tersebut berasal dari Arab, China, dan Eropa.

Hal itu ditandai dengan bagaimana perkampungan Ampenan dinamakan dengan penghuninya yang berasal dari daerah mana, misal di Ampenan terdapat namanya kampung Arab yang mengindikasikan bahwa dulunya orang yang menghuninya adalah orang Arab. Kemudian ada namanya kampung Banjar, kampung Melayu, serta kampung-kampung yang membuat semua orang tahu pada zaman dahulu orang mana yang mengisi tempat itu.

Namun zaman pasti berubah, dan rumah-rumah yang bervariasi pada zaman lampau kini tinggal sejarah dan meninggalkan kenangan yang hanya bisa orang ketahui dari buku dan diskusi dengan orang-orang terdahulu. Acapkali cerita tentang Ampenan abadi dari generasi ke generasi sebab cerita yang dituturkan orang yang hidup di masa lampau, namun semakin aku dewasa aku semakin ragu hal itu bisa terjadi karena bagaimanapun sekarang manusia hidup dengan gadget di tangan mereka, dan mereka yang terlalu menggunakan gadget cenderung lupa akan banyak hal, lupa untuk bersosial, lupa bahwa mereka adalah petarung di masa lampau. Kemudian mengingat hal ini, aku menjadi takut bahwa sejarah itu bakal terhenti.

Pasir yang kupijaki membuat kepiting terbirit-birit menuju rumah mereka dan bersembunyi pada lubang-lubang gelap. Aku tetap melangkah dan tidak peduli dengan mereka, kulihat samudera luas yang membentang dan langit menjadi perak di horizon dibarengi dengan pagi yang semakin dekat.

Aku duduk diatas batu sembari melihat perahu-perahu nelayan yang diam di pesisir pantai, kulihat mereka seperti pesawat tempur yang siap diberikan komando untuk menyerang, pada sore hari, kerap kulihat beberapa orang sedang duduk berduaan atas nama cinta, dan tak jauh dari sana aku melihat beberapa pemuda yang berkumpul sembari tertawa atas nama persahabatan. Sementara pagi adalah hal yang berbeda, hanya ada penghidupan dan bagaimana masyarakat pesisir Ampenan bisa hidup, hanya itu.

Ketika aku di pantai Ampenan maka tidak akan ada yang lebih menggugah mataku selain para pemancing yang berada di pantai Ampenan sebab mereka adalah orang-orang tangguh dan setia; kesabaran mereka terakreditasi 'unggul'. Bahkan aku bingung apakah itu adalah suatu kekeliruan untuk menunggu ikan yang entah kapan datangnya atau itu adalah hobi yang memang sudah ada sebelum zaman penjajahan Jepang? Aku tidak tahu.

Akan tetapi yang jelas, mereka yang memancing di pantai Ampenan adalah nelayan tulen yang nasib mereka bergantung kepada laut. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana seekor ikan laut yang kerasnya laksana batu ditangkap dalam kurun waktu yang lama. Dan hal yang mencengangkan adalah bahwa nelayan itu hanya menangkap satu ikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun