Pengetahuan dan Ketidaktahuan Akan Menciptakan Penyiksaan
Mari bayangkan diri anda sedang berada pada sebuah kelas dengan sebuah pelajaran yang tidak pernah bisa anda pahami. Pada suatu momentum hal itu pada akhirnya tiba; ujian. Sebuah lembaran soal dengan tulisan yang rumit, dengan jawaban yang tidak kalah rumit pula dengan perlahan menyiksa anda.
Jika kita bertanya sejenak, mengapa hal tersebut dapat menyiksa kita? Jawabannya tentu sederhana, karena kita bodoh. Sebab kita tidak dapat memahami pelajaran itu dengan baik dan tidak tahu harus menjawab apa.
Namun apakah ketidaktahuan selamanya menyiksa? Ini hal yang unik karena untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus membalik analoginya.
Jadi sekarang bayangkanlah diri anda sedang jatuh cinta dengan seorang manusia yang anda anggap sempurna. Anda bersamanya kian waktu dan menjalin kasih, anda begitu mempercayainya dan merasakan bahwa dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengannya. Anda merasa sangat beruntung memiliknya sampai hari-hari anda yang awalnya monoton entah mengapa dipenuhi pelangi.
Namun lagi-lagi pada suatu momentum ketika anda sedang berjalan di taman sendiri, tabir itu terkuak. Dirinya sedang berselingkuh dengan orang lain, bermesraan bahkan berciuman. Lihat? Dirinya yang anda percayai, yang anda sayangi, yang anda anggap lebih berharga daripada Bumi dan seisinya hanyalah pengkhianat belaka, hanya seorang manusia yang tidak pernah menganggap anda siapa-siapa. Bukankah itu menyakitkan?
Sebenarnya hal semacam ini merupakan ironi bagi seorang hamba sebab kita hanya menganggap hal-hal tertentu sebagai berkah namun nyatanya musibah, pun sebaliknya. Dalam kitab Fihi Ma Fihi karangan Jalaludin Rumi, analogi seperti ini pernah disebut sebagai sindiran terhadap manusia yang sok tahu.
Rumi menganalogikan bagaimana pada masa penciptaan nabi Adam terjadi pertentangan antara Iblis dan Tuhan mengenai kreasi Tuhan yang versi terbaru. Iblis yang merasa lebih pandai, pintar, menjadi sombong dan pada akhirnya ditendang dari altar sucinya. Dan mengapa itu terjadi? Karena pengetahuannya. Sementara binatang diselamatkan atas ketidaktahuannya.
Selanjutnya Rumi menggiring hal ini pada bagaimana Allah dan kasih sayangnya tidak dapat diterka oleh hamba-Nya. Sebab sebenarnya kita tahu atau tidak, itu juga merupakan bentuk dari kasih sayang yang Allah berikan kepada umat manusia.
Saya tentu tidak mau anda tergiring bahwa sejatinya umat Islam mesti tidak tahu akan banyak hal, sebab dalam teologi Islam menuntut ilmu merupakan hal yang wajib untuk kaum muslimin dan kaum perempuan.
Namun saya ingin kita semua menilik sejenak dalam teori penciptaan versi Islam yang dalam salah satu ayatnya mengatakan:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" (Al-Baqarah: 30)
Momen ini adalah momen yang epik sebab antara malaikat dan Tuhan terjadi diskusi singkat dan diakhiri oleh statement Tuhan yang membuat para malaikat langsung kicep dan sadar bahwa mereka bukan siapa-siapa bila dibandingkan dengan sang Agung. Pada momen ini, malaikat diselamatkan karena pengetahuannya.
Melalui hal ini mungkin kita akan sepakat bagaimana pengetahuan atau ketidaktahuan yang kita miliki bisa menjadi berkah atau malapetaka pada momen tertentu. Sebab bagaimanapun sebagai hamba, adalah hal yang pasti jikalau kita diuji oleh Dia yang memiliki kita.
Namun terkadang sebagai hamba, kita sendiri yang terlalu mudah memutuskan mana yang adil dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang tidak. Hanya saja hal yang terjadi tidak sesuai dengan ekspektasi kita, kita cenderung menyimpulkan bahwasanya Tuhan tidak adil.
Misalkan anda melakukan keburukan seperti berjudi, mencuri, atau pacaran. Kita mungkin dengan mudah mengatakan Tuhan tidak adil karena kita putus dengan orang terkasih, atau gagal dalam berjudi. Padahal sebenarnya bukankah itu salah satu bentuk kasih sayang-Nya? Bukankah lebih baik patah lebih dahulu sebelum terlalu dalam masuk ke jurang ekspektasi? Bukankah Tuhan sedang menyuruh kita untuk berhenti?
Namun tentu saja, sebagai manusia kita memiliki template keegoisan sendiri; kita ingin disayang sebagaimana kita ingin disayang, kita ingin diberikan rezeki sebagaimana kita ingin diberikan rezeki.
Bukankah kita teramat egois? Kita selalu menggunakan pandangan kita pribadi untuk menilai suatu hal, tanpa pernah mengakuisisi kalau kasih yang dimiliki Tuhan jauh lebih besar daripada kasih yang dimiliki diri kita sendiri.
Â
Baca Juga : Paradoks Perdebatan Antara Sekolah Swasta dan Negeri, Hilangnya Sekolah Asli Umat Manusia
Baca Juga : NFT: Permasalahan Diam dan Pergi Yang Hanya Sekedar Pilihan
Baca Juga :Â Filsafat Pohon Bambu; Mereka Juga Manusia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H