Atau mungkin itu memang sifat asli kita selama ini dan telah terkontaminasi dalam urat nadi, sehingga semua rencana yang kita miliki hanyalah rencana belaka, namun nol dalam aksi.
Akan tetapi tentu saja, terlalu egois untuk melakukan asesmen maupun penilaian kemanusiaan melalui sholat tarawih atau mengkhatamkan 30 juz dalam 30 hari sebab semua itu adalah sunnah.
Tarawih dan membaca Al-Quran adalah perbuatan sunnah, dan mencari nafkah adalah kewajiban. Tidak patut mengatakan bahwa ini sebagai representasi belaka karena semua orang punya kepentingan.
Namun jikalau saya ini benar, lalu bagaimana?
Apakah keseharian kita sebenarnya sama seperti bulan Ramadhan? Kita terlalu bersemangat pada awalnya hingga pada akhirnya kita ambruk pada malam berikutnya, dan semua kesempurnaan dalam rencana dimakan mentah-mentah oleh realita.
Jikalau benar, sungguh kita teramat lemah, berharap tindakan yang kita lakukan mampu mengubah dunia, namun ternyata gagal karena kita bahkan tidak bisa merubah diri kita sendiri.
Dan mungkin kita memang harus tersadar akan satu hal; mimpi kita terlalu tinggi.
Baca Juga : Klitih Sebagai Permasalahan Sosial Dari Tinjauan Sejarah
Baca Juga : PNS Mungkin Mati, Namun Guru Akan Selamanya Abadi
Baca Juga : Anarkisme Dalam Ramadhan; Ade Armando Dan Pengeroyokan di Bulan SuciÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H