Matahari belum timbul dari ufuk namun sebuah suara lebih dulu membangunkan aku. Aku mengerjapkan mata dan melihat keponakanku, Syafira, telah berdiri disamping pintu kamar dan melihatku dengan mata mungilnya.
"Paman Mol, ngasee!"
Aku kembali mengerjapkan mata dan mencoba mengumpulkan seluruh nyawaku dalam satu waktu. Aneh, di masjid hanya ada suara mengaji, dan belum ada tanda-tanda orang berteriak 'sahur'. Lalu mengapa keponakanku ada disini?
Aku melihat jam di layar hape dan ini masih fajar, jam 03.00. orang-orang sahur akan membangunkan orang satu sama lain pada jam 03.30. Jadi masih terlalu awal untuk bangun, kecuali kalau ada manusia yang ingin sholat tahajud.
Aku akhirnya tetap bangun sampai manusia mulai bersahutan satu sama lain, saling membangunkan dan berharap hari ini dilengkapi dengan keridhaan dari ilahi.
Aku berdiri, berjalan menuju rumah ibu-bapakku dan sahur disana. Tidak ada makanan mewah seperti di film-film megah, hanya ada nasi, sayuran, dan daging ayam yang dicampur sambal. Namun aku bersyukur masih bisa makan, dan aku lebih berysukur lagi ketika aku memiliki orangtua.
Aku mengetahui dengan pasti bahwa disuatu titik yang bergerak maju, kita semua akan saling meninggalkan, dan aku belum siap untuk hal tersebut. Aku mencoba untuk menjadi lebih baik, namun aku gagal, kesuksesan yang kukejar berkali-kali dihantam kenyataan yang membuatku kembali terpuruk.
Padahal aku hanya ingin melihat orangtuaku bangga dengan kesuksesanku, hanya itu. Namun yang kutemukan hanyalah rentetan kegagalan yang membuatku terbanting lagi dan lagi, sampai membuat luka di dadaku menganga.
Sampai hari ini, semua berjalan seperti biasa. Aku kembali ke kamar dan tidur sampai matahari mulai menampakkan wajah di ufuk timur, namun hatiku masih menganga karena kegagalanku, dan kakiku masih terlalu rapuh untuk berdiri.
****
"Sial!"