Mohon tunggu...
Didi Widyo
Didi Widyo Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Pendidik

Pendidik, Trader

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UII: Anak Polah, Bopo (Bapak) Kepradah

31 Januari 2017   07:00 Diperbarui: 31 Januari 2017   17:23 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era 90-an, seperti di kebanyakan daerah, di daerah saya di Jawa Timur, setiap masa libur sekolah, di alun-alun, selalu ada pasar malam satu bulan penuh, bahkan kadang lebih.  Salah satu tontonan yang menarik bagi saya selain “Tong Edan” adalah Ludruk atau Ketoprak, dan saya adalah salah satu penggemar Ketoprak, apalagi pas lakon favorit mereka, “Suminten Edan”.

Sebuah lakon yang kadang dipentaskan dengan versi yang sedikit berbeda. Tetapi intinya di lakon itu diceritakan bagaimana repotnya para orang tua akibat ulah masing-masing anak-anaknya. Dikisahkan, Suminten, anak Warok Socamenggolo kedanan (tergila-gila) kepada Subroto, anak Adipati Trenggalek. Ketika masing-masing orang tua sudah sepakat untuk menikahkan mereka, tiba-tiba Subroto menghilang karena dia lebih memilih Cempluk anak Warok Suromenggolo untuk menjadi pasangannya. Suminten yang batal mendapatkan cinta Subroto, tidak lagi kedanan tetapi benar-benar menjadi edan (gila).

Cinta segitiga 3 anak manusia ini yang menjadi penyebab terjadinya keributan dan peperangan yang melibatkan para orang tuanya. Bahkan di salah satu versi lain terdapat peran tambahan, anak Jin yang diminta membantu Socamenggolo juga jatuh cinta dan minta ijin kepada orang tuanya untuk menikahi manusia. Salah satu ucapan Sang Ayah Jin ketika menanggapi permintaan anaknya, dan sengkarut yang terjadi adalah “Anak Polah Bopo (Bapak) Kepradah”.

Sebuah peribahasa yang sering digunakan untuk menggambarkan, bagaimana perbuatan (polah) seorang anak akan berimbas kepada orang tuanya. Perbuatan anak yang tidak baik atau tercela akan membuat malu atau merendahkan martabat orang tua. Tidak hanya sekadar orang tua dalam arti biologis namun juga pimpinan dalam organisasi atau institusi.

Baru-baru ini, paling tidak dua atau tiga mahasiswa yang tergabung dalam panitia kegiatan Diksar Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) Unisi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogjakarta membuat ulah dan membawa korban tiga mahasiswa anggotanya, MAPALA. Imbas dari kejadian ini Rektor UII yang notabene tidak terlibat secara langsung, harus mengundurkan diri. Begitu juga Wakil Rektor bidang kemahasiswaan, turut mengundurkan diri. 

Seorang Rektor yang telah memimpin dan mengelola dengan baik perguruan tingginya tanpa cela, tiba-tiba harus mengakhiri tugas sebelum waktunya karena sesuatu yang mungkin sama sekali tidak menjadi indikator keberhasilan seorang pemimpin atau Rektor.

Saya sendiri mengenal secara pribadi, baik Rektor maupun Wakil Rektor ini. Tidak hanya orang tua atau pemimpin yang terkena imbas, tapi juga institusi. UII kehilangan pemimpin yang bersih, lurus, sederhana, rendah hati, kompeten,  berintegritas dan bertanggungjawab. Mau tidak mau UII harus melakukan proses seleksi kembali yang pada kenyataannya tidak mudah. Soliditas organisasi yang telah terbangun kemungkinan akan terkoyak kembali. Sebuah harga yang mahal.

Tentu saja bagi yang bersangkutan, yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dan orang tuanya juga akan menanggung akibatnya. Semoga menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun