Mohon tunggu...
Didi Widyo
Didi Widyo Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Pendidik

Pendidik, Trader

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ditjen Dikti "Cuci Gudang"

6 Oktober 2015   10:33 Diperbarui: 8 Oktober 2015   09:17 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggal 29 September 2015, media daring salah satu Kopertis merilis berita yang bersumber dari KemenristekDikti tentang pe-nonaktif-an 243 perguruan tinggi yang diselenggarakan masyarakat, yang kemudian diteruskan oleh berbagai media cetak dan elektronik hingga hari ini. Alhamdullillah istilah yang digunakan lebih baik, daripada istilah yang banyak beredar sebelumnya, yaitu Non-aktif. Istilah yang sering digunakan sebelumnya adalah dibekukan, abal-abal, bodong, dan sejenis.

Menurut berita tersebut, kampus-kampus di-nonaktif-kan karena melakukan berbagai pelanggaran, diantaranya Laporan akademik ke Forlap tidak lengkap, Nisbah Dosen/Mahasiswa, Menyelenggarakan pendidikan tanpa izin dan atau kelas jauh, Prodi /PT tanpa izin, Penyelenggaraan kelas Sabtu-Minggu, Jumlah mahasiswa melebihi kuota (khususnya Prodi Kesehatan/kedokteran), Ijazah palsu atau gelar palsu, Masalah sengketa/konflik internal, Kasus mahasiswa, Kasus Dosen (mis dosen status ganda), dana atau Pemindahan/pengalihan mahasiswa tanpa ijin kopertis.

Untuk membantu pemahaman masyarakat (semoga), berikut penjelasan lanjutannya.
Sanksi yang dikenakan terdiri atas:

  1. Ringan, yaitu memperoleh surat peringatan dan Wasdalbin Kopertis;
  2. Sedang, yaitu status non-aktif; dan
  3. Berat, yaitu pencabutan izin Prodi /PT.

Jika suatu Perguruan Tinggi berstatus non-aktif, maka PT tersebut:

  1. Tidak boleh menerima mahasiswa baru untuk tahun akademik baru;
  2. Tidak boleh melakukan wisuda (jika terjadi dualisme kepemimpinan dan atau kasus kualifikasi pemimpin yang tidak dapat dipercaya);
  3. Tidak memperoleh layanan Ditjen Dikti dalam bentuk beasiswa, akreditasi, pengurusan NIDN, sertifikasi dosen, hibah penelitian, partisipasi kegiatan Ditjen Kelembagaan lainnya, serta layanan kelembagaan dari Ditjen Kelembagaan; dan
  4. Tidak memperoleh akses terhadap basis data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi untuk pemutakhiran data (PT dan seluruh Prodi).

Jika suatu Program Studi berstatus non-aktif, maka Program Studi tersebut:

  1. Tidak boleh menerima mahasiswa baru untuk tahun akademik baru;
  2. Tidak memperoleh layanan Ditjen Dikti dalam bentuk beasiswa, akreditasi, pengurusan NIDN, sertifikasi dosen, hibah penelitian, partisipasi kegiatan Ditjen Kelembagaan lainnya, serta layanan kelembagaan dari Ditjen Kelembagaan;
  3. Tidak memiliki akses terhadap basis data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi untuk pemutakhiran data (akses terhadap basis data Prodi tertutup).

Status non-aktif suatu perguruan tinggi /program studi dapat dipulihkan atau diaktifkan kembali apabila program studi/perguruan tinggi yang masuk dalam daftar sudah memenuhi persyaratan sesuai peraturan.

Reaksi dari berita yang dimaknai sebagai upaya "cuci gudang" PTS bermasalah sudah mulai terlihat. Satu dua PTS berniat akan mem-PTUN-kan, mahasiswa men-demo ke kantor Dikti, dosen atau pengelola PTS menulis di berbagai media khususnya berisi pembelaan.

Upaya-upaya counter attack berikutnya pasti akan terus berlanjut dan akan menguras tenaga, waktu dan pikiran pejabat Dikti, tim evaluasi.  Pada titik tertentu Dikti akan melunak, kebijakan publikasi akan ditinjau ulang, tim mungkin akan mengendur, kecewa, tidak kompak, malas dan akhirnya menyerah, kemudian lupa.
Sebenarnya kementerian sudah berada pada jalan yang lurus, yaitu dalam rangka menjalankan tanggungjawab, tugas dan wewenang, terutama tanggungjawab pengawasan, evaluasi dan pembinaan. Hanya mungkin saja strategi atau cara yang digunakan untuk melaksanakan tanggungjawab tersebut yang masih belum tepat. Publikasi yang semula hanya dimaknai sebagai pemberian informasi kepada publik ternyata bermakna sangat substansial bagi PTS berkenaan. Mungkin terlalu bersemangat atau tidak disadari.

Dikti atau Tim evaluasi apabila berniat untuk "cuci gudang" alias menertibkan PTS bermasalah, dapat melakukan tugas dengan cara “bergerilya” bekerjasama dengan Kopertis Wilayah dan dijalankan bertahap sesuai dengan wilayah yang siap. Tentu saja masalahnya adalah ketersediaan SDM di kopertis dan tim. Bukan ketersediaan jumlah SDM, tetapi kompetensi dan komitmen serta integritas yang tidak mudah didapatkan.

Bertahap tidak saja dari sisi wilayah, tetapi juga dari sisi tingkat kompleksitas permasalahan. Misal di Kopertis Wilayah VII Jawa Timur, terdapat 26 PTS yang di-nonaktif-kan, 18 PTS diantaranya memang sejak lahir/didirikan tidak pernah mengisi laporan ESBED/FORLAP, 15 PTS hanya mengisi 1,2 atau 3 semester. Artinya sudah terindikasi 18 PTS yang tidak pernah melapor dapat digarap dulu, tapi dilokalisir. Kalaupun ketersediaan Tim memadai dapat dilakukan di beberapa Kopertis. Dengan demikian Dikti/tim evaluasi tidak membuka front terbuka dan serentak dengan komunitas PTS bermasalah. Tim tentu harus memberi pilihan atau solusi-solusi yang jelas. Digabung/merger sampai dengan ditutup. "Tidak bisa dibina, ya dibinasakan," kata orang iseng.

Semoga Tim Evaluasi selalu diberi kesehatan, komitmen dan integritas terjaga, dan diperkuat. Tidak mengendur atau mengubah kebijakan karena diprotes atau di demo. Rekan-rekan penyelenggara dan pengelola PTS tidak patah arang, tetap berupaya memenuhi ketentuan, demi mutu dan daya saing perguruan tinggi kita.

Aamiin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun