Mohon tunggu...
Widyo
Widyo Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen

ASN Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pesan Wapres Gibran Kepada Kementerian Pendidikan

13 November 2024   07:41 Diperbarui: 13 November 2024   10:31 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: IG.kemdikbud

Wakil Presiden Gibran Rakabuming, pada Senin (11/11/2024) membuka Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada kesempatan ini, Wapres menyoroti sejumlah isu utama terutama kebijakan zonasi, kekerasan atau perundungan, perlindungan guru serta infrastruktur sekolah. Wapres mengingatkan pentingnya evaluasi terhadap keberlanjutan kebijakan PPDB khususnya zonasi yang meski sudah baik dan bermanfaat namun dalam pelaksanaan di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi yang diluncurkan oleh Nadiem Makarim pada Episode I Merdeka Belajar  telah menjadi topik hangat di kalangan masyarakat, terutama karena dampaknya atau implikasinya terhadap sekolah, guru, pemerintah daerah dan masyarakat.

Kebijakan Zonasi dalam PPDB
Kebijakan zonasi awalnya diterapkan untuk mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia, di mana siswa dari berbagai latar belakang ekonomi bisa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah yang baik di dekat tempat tinggalnya. Dengan zonasi, pemerintah berharap dapat mencegah praktik "kastanisasi" di sekolah yang selama ini didominasi oleh siswa berprestasi saja, sementara sekolah lain hanya menerima siswa yang kurang berprestasi, selain untuk memudahkan siswa untuk bersekolah tidak jauh dari tempat tinggal, yang dapat mengurangi beban biaya transportasi dan meningkatkan efisiensi waktu.

Walaupun memiliki tujuan yang baik, pelaksanaan kebijakan zonasi menghadapi berbagai kendala dan kritik, sebagaimana disampaikan Wapres. Salah satu kritik terbesar adalah bahwa kebijakan zonasi justru memperlihatkan ketimpangan kualitas sekolah. Di daerah perkotaan, sekolah-sekolah cenderung memiliki fasilitas yang lebih baik dibandingkan sekolah di pedesaan atau pinggiran kota. Akibatnya, siswa yang berada di zona tertentu mungkin tidak mendapatkan kualitas pendidikan yang setara. Ada kekhawatiran bahwa sistem zonasi bisa menurunkan motivasi siswa untuk berprestasi akademik.
Karena seleksi penerimaan didasarkan pada lokasi tempat tinggal, maka siswa yang memiliki nilai tinggi mungkin tidak mendapatkan akses ke sekolah unggulan yang mereka inginkan, hanya karena jaraknya. Banyak orang tua yang berusaha memasukkan anaknya ke sekolah favorit dengan memanipulasi alamat tempat tinggal agar sesuai dengan zona yang diinginkan. Hal ini menjadi fenomena tersendiri yang justru menghambat transparansi sistem zonasi. Siswa yang tinggal di perbatasan dua zona sering kali kesulitan mendapatkan akses ke sekolah unggulan karena persaingan yang ketat dan terbatasnya jumlah sekolah berkualitas di dekat tempat tinggal.

Kebijakan Penanganan Perundungan dan Kekerasan di Sekolah
Selain masalah zonasi, Wapres juga menyoroti masalah perundungan dan kekerasan di sekolah. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan berbagai kebijakan untuk menangani kasus perundungan-kekerasan, antara lain dengan menerbitkan Peraturan MenteriPendidikan dan Kebudayaan yang mendorong sekolah untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan Kekerasan di Sekolah. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bebas dari kekerasan.
Meski kebijakan anti perundungan dan kekerasan telah digulirkan, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala, misalnya masih banyak kepala sekolah, guru dan staf yang kurang terlatih dalam menangani perundungan dan atau kekerasan. Belum lagi pemahaman dan sikap orang tua, masyarakat termasuk penegak hukum. Hal ini menyebabkan banyak kasus perundungan/kekerasan yang tidak ditangani dengan baik atau bahkan terabaikan. Selain itu, tidak semua sekolah memiliki konselor yang terlatih untuk menangani kasus perundungan. Di banyak sekolah, tidak ada layanan konseling yang mampu memberikan pendampingan khusus bagi korban perundungan, kekerasan atau pelaku. Arahan Wapres untuk mendirikan satuan pendidikan khusus untuk korban menjadi pekerjaan rumah bagi kementerian.

Dari sisi korban, fakta di lapangan peristiwa perundungan dan kekerasan di sekolah atau lingkungan sekolah kerap tidak terlaporkan karena korban atau saksi merasa takut atau malu untuk melapor. Kalaupun beberapa kasus muncul lebih banyak karena ketidaksengajaan para pihak. Ada juga kecenderungan di beberapa sekolah untuk menutupi kasus agar citra sekolah tetap baik, yang justru memperparah situasi. Beberapa kasus kekerasan di sekolah dihadapi dengan sanksi yang kurang tegas atau tidak konsisten. Hal ini sering menimbulkan ketidakpuasan dari pihak orang tua dan siswa karena kasus kekerasan dianggap tidak ditangani secara adil.

Bagaimana Alternatif Perbaikan
Berdasarkan evaluasi tersebut, ada beberapa rekomendasi perbaikan yang dapat dipertimbangkan beberapa upaya yang secara umum sudah sering disampaikan: Pertama, agar zonasi berjalan efektif, pemerintah perlu meningkatkan kualitas fasilitas dan tenaga pengajar di sekolah-sekolah non-unggulan. Ini bisa dilakukan melalui alokasi anggaran yang lebih besar dan peningkatan pelatihan bagi guru di sekolah-sekolah di wilayah pinggiran atau pedesaan; Kedua, Pemerintah dapat membuat standar nasional dalam penanganan perundungan dan kekerasan yang melibatkan semua pihak, termasuk siswa, orang tua, dan pihak sekolah. Selain itu, meningkatkan jumlah konselor profesional di sekolah dan memberikan pelatihan khusus pada guru dalam mengenali dan menangani kasus; Berikutnya, mengadopsi teknologi yang memungkinkan siswa dan orang tua melaporkan kekerasan dengan lebih mudah, serta memantau pelaksanaan kebijakan anti-perundungan/kekerasan di sekolah.

Kebijakan zonasi dan anti-kekerasan memang masih memerlukan banyak penyempurnaan. Sebagaimana pesan Wapres, silakan dikaji, didiskusikan, apakah akan dilanjutkan, disempurnakan atau akan diganti. Namun, dengan evaluasi berkala dan dukungan dari berbagai pihak, kedua kebijakan ini memiliki potensi untuk memberikan dampak positif bagi pendidikan dan keamanan siswa di lingkungan sekolah.
Hal-hal lain terkait mata pelajaran matematika, coding dan sejenis serta infrastruktur lebih banyak masalah teknis dan koordinasi antar kementerian dan institusi di daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun