Mohon tunggu...
Widyo
Widyo Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen

ASN Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dosen Harus Doktor?

27 Juli 2016   11:54 Diperbarui: 28 Juli 2016   05:56 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menegaskan, perguruan tinggi di Indonesia diharapkan bisa meningkatkan kualitasnya ke depan. Sebab, saat ini Indonesia harus menghadapi persaingan cukup berat di era MEA ini.
"Kualitas perlu ditingkatkan dan itu harus dimulai dari sumber dayanya. Salah satunya dosen minimal bergelar doktor," ujar Nasir saat dialog pendidikan bersama civitas akademik Universitas Riau (Unri) di Gedung Rektorat Unri, Pekanbaru, Riau, Sabtu (23/7). 

Tekad Menristekdikti..

Sesuai data Pangkalan Data Dikti, saat ini jumlah dosen tetap di bawah Kemristekdikti sekitar 190.700 orang, dan 43.300 orang diantaranya masih bergelar Sarjana (S1). Artinya mereka harus kuliah lagi minimal Magister-S2 apabila tetap ingin menjadi dosen, karena syarat dosen minimal berpendidikan S2. Apabila sampai dengan tahun 2016 tidak berkualifikasi S2, maka dosen yang bersangkutan harus berubah status menjadi tenaga kependidikan. 

Dengan demikian beban tugas Kementerian untuk menangani dosen S1 sebanyak 43.300 orang, apakah harus (meng "S2" kan), meningkatkan kualifikasinya menjadi Magister, beralih fungsi atau pensiun dini. 

Saat ini terdapat sekitar 7.000 dosen yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana (S2 dan S3) dengan beasiswa pemerintah (5.900 S2, 1.100 S3). Apabila setiap tahun lulus sekitar 7.000 orang (2.500 orang penerima beasiswa ditambah maksimal sekitar 4.500 orang yang kuliah biaya PT/mandiri/non APBN),  maka diperlukan  waktu 5 (lima) tahun untuk "menghabiskan" dosen S1 (setelah dikurangi yang pensiun, yang menyerah tidak mau kuliah dan yang alih fungsi). Dengan demikian PR utama adalah melipatgandakan kemampuan beasiswa dan atau penyelenggara pascasarjana sehingga utang "mengS2kan" dosen dapat dilaksanakan dalam 2 tahun, waktu yang masih dapat ditoleransi oleh Undang-undang.

Maka, daripada berpikir dan berencana "dosen harus Doktor", lebih baik prioritas dan fokus menyelesaikan tugas atau beban yang ada di depan mata, juga dalam jangkauan umur kabinet, yaitu memfasilitasi dosen melalui penyediaan beasiswa S2 sebanyak-banyaknya, berbagai upaya peningkatan kapasitas pascasarjana dan program terobosan lainnya. Tentu saja dengan tetap mempertimbangkan kualitas, baik dosen yang bersangkutan maupun pascasarjana penyelenggara.

Wassalam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun