Beasiswa Bidikmisi
Sepuluh persen dari kewajiban perguruan tinggi dalam menyediakan 20% bantuan biaya pendidikan dilakukan melalui program Bidikmisi, yaitu bantuan biaya pendidikan berupa pembebasan biaya kuliah dan pemberian bantuan biaya hidup bagi calon mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu yang dilaksanakan mulai tahun 2010. Secara bertahap program ini terus disempurnakan baik dari aspek mutu maupun efektivitas program. Sejak tahun 2013 telah terintegrasi dengan SNMPTN dan SBMPTN. Dengan demikian kualitas akademik calon penerima program ini tidak diragukan. Pada awal peluncuran program, kuota yang disediakan sejumlah 20.000 dan terus ditingkatkan, sehingga pada tahun 2016 kuota yang disediakan sebanyak 60.000.
Identik dengan UKT, titik rawan efektivitas program terletak pada penentuan atau seleksi calon penerima. Masih terdapat berbagai laporan dari masyarakat dan mahasiswa yang menyatakan bahwa program ini banyak yang salah sasaran. Kriteria ukuran ketidakmampuan ekonomi memang telah ditentukan secara rinci, begitu pula sanksi bagi yang berupaya manipulasi data ekonomi. Namun selalu saja ada masalah baik karena ketidaklengkapan data calon penerima atau bahkan suatu kesengajaan oleh panitia seleksi. Pada tahap pelaksanaan titik lemahnya adalah keterlambatan pencairan dana, baik untuk penyelenggaraan pendidikan maupun bantuan biaya hidup. Setiap tahun selalu ada laporan mahasiswa penerima yang berhenti kuliah karena tidak sanggup bertahap hidup akibat keterlambatan yang kadang lebih dari 3 bulan.
Area perbaikan juga harus dilakukan pada skema pembiayaan. Biaya penyelenggaran pendidikan (SPP) yang belum sinkron dengan BOPTN dan dana pengelolaan yang belum tegas pengaturan peruntukannya. Dengan demikian evaluasi program yang perlu dilakukan adalah penekanan pada integritas pengelola agar dapat menyeleksi calon penerima dengan lebih tepat sasaran, pengelolaan dana bantuan agar tidak terjadi keterlambatan berulang serta sinkronisasi dana penyelenggaraan pendidikan dan dana pengelolaan.
Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA)
Jauh sebelum program Bidikmisi diluncurkan, beasiswa PPA telah lama eksis. Program ini diluncurkan mulai tahun 2004 dan telah mengalami berbagai perubahan baik dari sisi ketentuan, nama program, nominal beasiswa maupun kuota. Sebelum tahun 2010, beasiswa ini diprioritaskan bagi mahasiswa berprestasi yang memiliki keterbasan ekonomi. Namun seiring perkembangan, khususnya setelah diluncurkan program Bidikmisi dan berkurangnya kuota, maka PPA lebih diarahkan kepada mahasiswa berprestasi secara komprehensif (kurikuler, ko dan ekstra kurikuler), walaupun masih dilihat aspek ekonomi. Berbeda dengan Bidikmisi yang diberikan sejak tahun pertama hingga lulus, beasiswa PPA diberikan paling cepat mulai semester kedua, karena seleksi berdasarkan prestasi semester pertama,dan dapat dihentikan ketika prestasi penerima menurun.Â
Tiga tahun terakhir, kuota beasiswa ini terus turun mulai dari 240.000 pada tahun 2013, 180.000 pada 2014, 120.000 pada 2015 dan rencana terakhir 2016 dialokasikan 50.000. Evaluasi yang dapat dilakukan adalah mempertimbangkan integrasi beasiswa ini dengan bantuan biaya pendidikan atau beasiswa lain. Bila diperlukan beasiswa ini dihapuskan dari urusan pusat dan dialihkan atau diserahkan ke perguruan tinggi yang memang telah banyak memiliki atau mengelola berbagai beasiswa dari berbagai sumber.
Revitalisasi LPTK
Ini sebenarnya bukan barang baru. Program ini telah gencar dicanangkan sekitar sepuluh tahun yang lalu, pasca diterbitkan UU Guru dan Dosen. Mungkin karena dinamika kepemimpinan di perguruan tinggi dan kementerian, sehingga revitalisasi LPTK ini menjadi baru lagi. Bisa dikatakan masalah perbaikan kualitas LPTK ini masih bermain dan berputar di tataran konsep, padahal yang terpenting adalah segera dibuat/revisi ketentuan kemudian eksekusi dan tentu saja disertai komitmen pendanaan.
Masalah ini sebenarnya sangat mendesak. Semakin ditunda maka akan menjadi bom waktu. Dengan jumlah prodi kependidikan (S1) sebanyak 4.764 (forlap.dikti.go.id), dan jumlah mahasiswa kependidikan (S1) sebanyak 1.051.636, maka ini sudah mengerikan. Dengan produktivitas 15% saja, berapa  jumlah lulusan yang dihasilkan, di sisi lain berapa kebutuhan guru. Ambil saja 70% yang berminat dan memnuhi syarat jadi guru. Bagaimana pemerintah menyelesaikan hal ini?. Berbagai mismatch jumlah dan jenis. Menjalankan sergur, PPG dan asrama, dosen, dan seabreg persoalan iringan. Moga Bapak/Ibu pemangku urusan diberi kesehatan untuk mengemban amanah yang berat ini.
Kita tunggu penjelasan yang benar dan resmi di RDP berikut